wasiat dan pembagiannya
MAKALAH
WASIAT & PEMBAGIANYA
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Tafsir Ayat Ekonomi
Dosen
pengampu:
Khoirur
Roji’in
Disusun oleh kelompok 4 :
Zulfanisa Damayanti
1602040055
INSITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) KOTA METRO
2017
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Wasiat
Kata wasiat (washiyah) itu diambil dari kata Washshaitu asy-syaia, uushiihi, artinya
aushaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka muushii (orang yang berwasiat)
adalah orang yang menyampaikan pesan di waktu dia hidup untuk dilaksanakan
sesudah dia mati.
Dalam istilah syara’, wasiat itu adalah pemberian
seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk
dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat
mati.Sebagian fuqaha mendefinisikan wasiat itu adalah
pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya mati.
Dari sini, jelaslah perbedaan antara hibah dan wasiat.
Pemilikan yang diperoleh dari hibah itu terjadi pada saat itu juga sedang
pemilikan yang diperoleh dari wasiat itu terjadi setelah orang yang berwasiat
mati. Ini dari satu segi, sedang dari segi lain, hibah itu berupa barang,
sementara wasiat bisa berupa barang, piutang ataupun manfaat.[1]
Di dalam Sunnah juga
terdapat hadits-hadits berikut:
روي البخاري ومسلم عن ابن عمر رضي الله عنه قال : قال
رسول الله عليه وسلم : ما حق امرء مسلم له شيء يوصى فيه. يبيت ليلتين ألا ووصيتهمكتوبة عنده. قال ابن عمر : مامرت على ليلة
منذ سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقولو ذلك الا وعندي وصيتي.
“Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim , dari Ibnu ‘Umar r.a, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw.: “Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua malam tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebaikannya.”
Ibnu ‘Umar berkata: Tidak berlalu bagiku satu malampun sejak aku mendengar Rasulullah saw. mengucapkan hadits itu kecuali wasiatku selalu berada di sisiku.” [2]
Rukun Wasiat
Jumhur ulama mengatakan
ada empatrukunwasiat,yaitu :
Ø
Adanya Mushii (pihak
pembuat wasiat)
Ø
2.Adanya Musha lah
(penerima wasiat)
Ø
3.Adanya Musha bih
(sesuatu/ barang yang diwasiatkan)
Ø
4.Adanya shigat
(ucapa serah terima) dengan adanya ijab dari mushii, misalnya “Aku berwasiat
untuk fulan akan sesuatu itu.” Sedan qabul berasal dari pihak mushaa lah yang
sudah jelas ditentukan.
Syarat-syarat
wasiat
a. Syarat-syarat Mushii
Ø Mukallaf (baligh dan berakal sehat), merdeka, baik
laki-laki maupun perempuan, muslim maupun kafir.
Ø Dalam keadaan rela dengan kehendak sendiri.
b. Syarat-syarat Mushaa lah
Ø Harus wujud
Ø Harus diketahui/ma’lum
Ø Harus berkompeten menerima hak milik dan keberhakan.
Ø Tidak kafir harbi menurut golongan Malikiyyah, dan
bukan kafir harbi di daerah peperangan menurut golongan Hanafiyyah, serta tidak
mendapat wasiat berupa senjata untuk ahli perang menurut golongan Syafi’iyah.
c. Syarat-syarat Mushaa bih
Ø Hendaknya berupa harta benda.
Ø Memiliki nilai.
Ø Bisa diberikan kepemilikannya
Ø Merupakan milik mushii, jika barang tersebut berujud/
sudah jelas (mu’ayyan).
Ø Tidak dengan menggunakan maksiat.[3]
Hukum Wasiat
Adapun hukumnya dilihat dari segi harus dilaksanakan atau harus
ditinggalkan wasiat itu, maka para ulama telah berbeda pendapat-pendapat itu
kami ringkaskan sebagai berikut:
Ø Pendapat
pertama
Pendapat ini
memandang bahwa wasiat itu wajib bagi setiap orang yang meninggalkan harta,
baik harta itu banyak ataupun sedikit. Pendapat ini dikatakan oleh Az-Zuhri dan
Abu Mijlaz.
Ø Pendapat
kedua
Pendapat ini
memandang bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak
mewarisi dari si mayit itu wajib hukumnya. Dan inilah mazhab Masruq, Iyas,
Qatadah, Ibnu Jarir dan Az-Zuhri.
Ø Pendapat
ketiga
Yaitu pendapat empat orang imam dan aliran Zaidiyah yang menyatakan bahwa
wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang meniggalkan harta
(pendapat pertama), dan bukan pula kewajiban terhadap kedua orang tua dan karib
kerabat yang tidak mewarisi (pendapat kedua); akan tetapi wasiat itu
berbeda-beda hukumnya menurut keadaan.
Maka wasiat itu terkadang wajib, terkadang sunat, terkadang haram, terkadang makruh dan terkadang jaiz (boleh).
Maka wasiat itu terkadang wajib, terkadang sunat, terkadang haram, terkadang makruh dan terkadang jaiz (boleh).
Wajibnya Wasiat
Wasiat wajib dalam
keadaan bila manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan
disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada
Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang
belum ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau dia mempunyai amanat
yang harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahui selain
oleh dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
Sunatnya
Wasiat
wasiat disunatkan bila ia diperuntukkan bagi kebajikan, karib
kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang saleh.
Haramnya Wasiat
Wasiat itu diharamkan bila ia merugikan ahli waris.
روى سعيدبن منصور بأسناد صحيخ قال ابن عباس الأضرار في الوصية من الكبائر.
“ Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dengan isnad
yang shahih, berkata Ibnu ‘Abbas: “Merugikan ahli waris di dalam wasiat itu
termasuk dosa besar”.
Wasiat yang maksudnya merugikan ahli waris seperti bathil, sekalipun wasiat itu tidak mencapai sepertiga harta.
Diharamkan pula mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan (tempat maksiat).
Wasiat yang maksudnya merugikan ahli waris seperti bathil, sekalipun wasiat itu tidak mencapai sepertiga harta.
Diharamkan pula mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan (tempat maksiat).
Makruhnya Wasiat
Wasiat
makruh, bila orang
yang berwasiat sedikit hartanya, sedang dia mempunyai seorang atau banyak ahli
waris yang membutuhkan hartanya. Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada
orang-orang yang fasik jika diketahui atau diduga dengan keras bahwa mereka
akan menggunakan harta itu dalam kefasikan dan kerusakan. Akan tetapi apabila
orang yang berwasiat tahu atau menduga keras bahwa orang yang diberi wasiat
akan menggunakan harta itu
untuk
ketaatan ,maka wasiat yang demikian ini menjadi sunat.
Jaiznya Wasiat
Wasiat Jaiz itu
diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang yang kaya, baik orang yang
diwasiati itu kerabat atau orang yang jauh (bukan
kerabat).
Jika sesudah mengeluarkan biaya jenazah dan
membayarkan utang, harta peninggalan masih ada maka tindakan selanjutnya adalah
membayarkan atau menyerahkan wasiat yang dibuat pewaris kepada pihak yang
berhak. Adanya ketentuan tentang wasiat itu terdapat dalam al-Qur’an surah
al-Baqarah ayat 180. Yang menyatakan wasiat untuk orang tua dan kerabat yang
pada umumnya adalah ahli waris sebagaimana terdapat dalam surah al-Nisa’ ayat
11,12 dan 176.
Diantara hukum wasiat adalah wasiat sah dalam batas sepertiga harta atau kurang dari itu. Sebagian ulama menganjurkan agar wasiat tidak lebih dari sepertiga harta. Hal ini sesuai dengan pendapat Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Abbas. Dari Sa’ad bin Abi Waqash diperoleh hadits riwayat yang berbunyi:
Diantara hukum wasiat adalah wasiat sah dalam batas sepertiga harta atau kurang dari itu. Sebagian ulama menganjurkan agar wasiat tidak lebih dari sepertiga harta. Hal ini sesuai dengan pendapat Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Abbas. Dari Sa’ad bin Abi Waqash diperoleh hadits riwayat yang berbunyi:
الثلث والثلث كثير
“ Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.”
Wasiat tidak boleh
lebih dari sepertiga harta jika orang yang berwasiat tersebut mempunyai ahli
waris, kecuali dengan izin mereka. Karena apa yang lebih dari sepertiga harta
merupakan hak mereka. Sehingga, jika mereka mengizinkan apa yang lebih
tersebut, maka wasiatnya menjadi sah. Izin para ahli waris tersebut diikrarkan
setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.
Diantara hukum wasiat juga adalah wasiat dianjurkan bagi orang yang mempunyai harta melimpah dan ahli warisnya tidak memerlukannya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
Diantara hukum wasiat juga adalah wasiat dianjurkan bagi orang yang mempunyai harta melimpah dan ahli warisnya tidak memerlukannya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat.”(al-Baqarah:
180).
Harta yang banyak yang kadarnya dikembalikan pada kebiasaan masyarakat. Oleh sebab itu, orang yang hartanya sedikit dan para ahli warisnya membutuhkan harta tersebut hukumnya makruh jika ia berwasiat. Karena dengan demikian ia telah membelokkan hartanya dari para ahli warisnya kepada orang lain.
Harta yang banyak yang kadarnya dikembalikan pada kebiasaan masyarakat. Oleh sebab itu, orang yang hartanya sedikit dan para ahli warisnya membutuhkan harta tersebut hukumnya makruh jika ia berwasiat. Karena dengan demikian ia telah membelokkan hartanya dari para ahli warisnya kepada orang lain.
Hal ini juga berdasarkan sabda Rasulullah kepada Sa’ad
bin Abi Waqqash r.a.,
أنك أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس.
" Engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada meninggalkan mereka melarat dan mengemis kepada orang-orang.”
أنك أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس.
" Engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada meninggalkan mereka melarat dan mengemis kepada orang-orang.”
Termasuk dalam hukum wasiat adalah semua utang serta kewajiban syariat seperti zakat, haji, nazar dan kafarat yang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan mayit harus didahulukan meskipun ia tidak berwasiat untuk membayarnya dahulu.
Dan
berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi dan Ahmad bahwa Ali r.a. berkata,
“Rasulullah menetapkan bahwa utang harus dibayar sebelum wasiat.” Penjelasan
ini menunjukkan bahwa utang harus didahulukan dari wasiat. Begitu juga
berdasarkan hadits yang sebutkan dalam kitab-kitab shahih:
أقضوا الله , فا الله أحق بالوفاء.
“ Tunaikanlah kewajiban (utang) kepada Allah, karena kewajiban tersebut lebih berhak untuk ditunaikan.”.
Maka, berdasarkan ijma’ para ulama, penunaian kewajiban dimulai dari pembayaran utang, kemudian wasiat, dan terakhir pembagian warisan.
Wasiat merupakan perkara yang penting. Hal ini terlihat dari pengangkatan posisinya oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan mendahulukan penyebutannya dari hal-hal lain untuk menunjukkan rasa perhatian yang lebih dan dorongan untuk melaksanakannya selama wasiat tersebut sesuai dengan syari’at. Allah mengancam siapa saja yang meremehkan perkara wasiat ini atau menggantinya dengan tanpa ada alasan yang dapat diterima syara’. Allah berfirman,
“Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(al-Baqarah: 181).
Imam asy-Syaukani di dalam kitab tafsirnya berkata,” Makna mengganti adalah mengubah. Ini adalah ancaman bagi orang yang mengganti wasiat yang benar dan tidak menyimpang serta tidak menyebabkan kemudharatan. Hal itu bisa menimbulkaan dosa. Dan, orang yang berwasiat tidak bertanggung jawab atas penggantian itu, karena ia telah terlepas dari perbuatan itu dengan wasiatnya.”
أقضوا الله , فا الله أحق بالوفاء.
“ Tunaikanlah kewajiban (utang) kepada Allah, karena kewajiban tersebut lebih berhak untuk ditunaikan.”.
Maka, berdasarkan ijma’ para ulama, penunaian kewajiban dimulai dari pembayaran utang, kemudian wasiat, dan terakhir pembagian warisan.
Wasiat merupakan perkara yang penting. Hal ini terlihat dari pengangkatan posisinya oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan mendahulukan penyebutannya dari hal-hal lain untuk menunjukkan rasa perhatian yang lebih dan dorongan untuk melaksanakannya selama wasiat tersebut sesuai dengan syari’at. Allah mengancam siapa saja yang meremehkan perkara wasiat ini atau menggantinya dengan tanpa ada alasan yang dapat diterima syara’. Allah berfirman,
“Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(al-Baqarah: 181).
Imam asy-Syaukani di dalam kitab tafsirnya berkata,” Makna mengganti adalah mengubah. Ini adalah ancaman bagi orang yang mengganti wasiat yang benar dan tidak menyimpang serta tidak menyebabkan kemudharatan. Hal itu bisa menimbulkaan dosa. Dan, orang yang berwasiat tidak bertanggung jawab atas penggantian itu, karena ia telah terlepas dari perbuatan itu dengan wasiatnya.”
Apabila seseorang berwasiat untuk orang yang adil, lalu orang itu berubah menjadi fasik, maka wasiat tersebut hendaknya dicabut, sebagaimana jika seseorang menyandarkan wasiat kepadanya, maka hal itu tidak sah karena ia tidak tidak dapat dipercaya untuk mengurusnya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i. Dari Hambali diperoleh dua pendapat. Hanafi berpendapat : apabila ia menjadi fasik maka dibantukan orang adil kepadanya. Sedangkan jika diberikan wasiat kepada orang fasik maka hakim bertindak menyelesaikan wasiat tersebut.Apabila hakim tidak bertindak menyelesaikannya maka sahlah wasiat itu.
Menurut ketentuan hukum Islam, bahwa bagi seseorang
yang merasa telah dekat ajalnya dan ia meninggalkan harta yang cukup (apalagi
banyak) maka diwajibkan kepadanya untuk membuat wasiat bagi kedua orang tuanya
(demikian juga bagi kerabat yang lainnya), terutama sekali apabila ia telah
pula dapat memperkirakan bahwa harta mereka (kedua orang tuanya dan kerabat
lainnya) tidak cukup untuk keperluan mereka.
Apabila dilihat dari pandangan ilmu hukum, bahwa
wasiat merupakan perbuatan hukum sepihak (merupakan pernyataan sepihak), jadi
dapat saja wasiat dilakukan tanpa dihadiri oleh penerima wasiat, dan bahkan
dapat saja dilakukan dalam bentuk tertulis.
Bahkan
dalam praktiknya dewasa ini, untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak
dikehendaki di belakang hari, sering pernyataan wasiat itu dilakukan dalam
bentuk akta autentik.
yaitu
diperbuat secara notarial, apakah dibuat oleh atau dihadapan notaris atau
disimpan dalam protokol notaris.
Kompilasi Hukum Islam Indonesia khususnya dalam
ketentuan yang terdapat dalam Buku II Bab V Pasal 194 dan 195 menyebutkan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pewasiatan
tersebut adalah sebagai berikut:
Ø
Pewasiat harus orang
telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan disarkan kepada kesukarelaannya.
Ø
Harta benda yang
diwasiatkan harus merupakan hak si pewasiat.
Ø
Peralihan hak
terhadap barang/benda yang diwasiatkan adalah setelah si pewasiat meninggal
dunia.
Menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pewasiatan tersebut adalah sebagai berikut:
Ø
Apabila wasiat itu
diakukan secara lisan, maupun tertulis hendaklah pelaksanaanya dilakukan
dihadapan 2 (dua) orang saksi atau dihadapan notaris.
Ø
Wasiat hanya
diperbolehkan maksimal sepertiga dari harta warisan , kecuali ada persetujuan
semua ahli waris.
Ø
Wasiat kepada ahli
waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
Ø
Pernyataan
persetujuan pada poin 2 dan 3 dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis di
hadapan 2 (dua) orang saksi atau dibuat di hadapan notaris.
Persoalan wasiat ini apabila dihubungkan dengan persoalan pembagian harta warisan, maka haruslah terlebih dahulu dikeluarkan apa-apa yang menjadi wasiat dari si meninggal, barulah kemudian (setelah dikeluarkan wasiat) harta tersebut dibagikan kepada ahli waris. [4]
Wasiat untuk melaksanakan haji secara mufakat, wasiat
seperti ini sah, karena haji termasuk amalan kebajikan. Golongan hanafiyyah
berpendapat, apabila seseorang berwasiat agar dilaksanakan haji wajib (yang
menjadi rukun Islam atau haji nadzar), maka haji tersebut harus ditunaikan
untuknya dengan berjalan kaki atau berkendaraan, dan haji ini dilaksanakan dari
negaranya, dengan catatan biaya yang ada cukup. Dan bila ternyata biaya tidak
mencukupi, maka haji dilaksanakan dari manapun sekira biaya mampu mencukupinya.
Karena, orang yang telah dianggap mampu berhaji tidak harus melaksanakan
hajinya dengan berjalan kaki. Namun, dia harus melaksanakannya sesuai dengan
kelazimannya ketika dia berada di negaranya.
Wasiat haji sunnah berhukum sah. Dan orang yang
mengatakan,” Hajikanlah aku dengan menggunakan sepertiga hartaku atau dengan
uang seribu,”sedang uang sejumlah ini cukup digunakan untuk biaya haji
berulang-ulang. Maka, jika mushii menjelaskan dengan kata ‘sekali haji’, maka
penjelasannya ini diikuti, dan uang sisa dikembalikan kepada ahli warisnya. Dan
bila dia tidak memberikan penjelasan apapun, maka yang lebih utama dia dihajikan
dengan beberapa kali haji oleh beberapa orang dalam satu tahun, atau sekali
haji untuk satu tahun haji secara berulang, pendapat terakhir dari dua pendapat
Abu Hanifah mengatakan bahwa haji sunnah adalah lebih utama dari sedekah.
Golongan syafi’iyyah berpendapat, haji wajib (yag
menjadi rukun Islam atau haji nadzar) meski tidak diwasiatkan untuk
dilaksanakan, menurut pendapat yang msyhur harus dihitung dari harta pusaka,
seperti utang lainnya, bahkan lebih utama untuk ditunaikan pelaksanaannya. Bila
mushii berwasiat untuk dihajikan dengan menggunakan harta pusakanya atau dengan
sepertiga hartanya, maka wasiat ini dilaksanakan dengan menggunakan harta
tersebut, dan wasiat haji wajib harus disempurnakan dengan menggunakan harta
pusaka apabila harta yang dijelaskannya tidak mencukupi. Bila dia berwasiat
tanpa menjelaskan harta yang akan digunakannya, maka biaya diambil dari harta
pusaka.
Komentar
Posting Komentar