biografi Al-Awzai dan Imam Malik


1.   Imam Al-Awza’i
A.    Biografi Al Awza’i
Imam Al-Auza’i (88 H (706/707 M) – 157 H (773/774 M)) adalah ulama ahlussunnah dan eponim bagi mazhab fikih Auza'i. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Amr bin Yahya Al-Auza’i. Al-Auza’i adalah nisbah ke daerah Al-Auza’, salah satu wilayah di Damaskus. Menurut Adz-Dzahabi, dia adalah seorang "Syaikh Islam, 'alim wilayah Syam." Dia bertempat-tinggal di Al-Auza', sebuah kampung kecil di daerah Bab al-Faradis, di dekat Damaskus, kemudian dia pindah ke Beirut, hingga dia meninggal di sana. Dia dilahirkan pada tahun 88 H dan mengalami masa kanak-kanak dalam keadaan yatim. Ia melakukan perjalanan menuntut ilmu (rihlah) menuju Yamamah dan Bashrah.
Tidak banyak karya pribadinya yang masih bertahan dan dapat ditemukan pada saat ini, meskipun begitu berbagai perkataannya masih dapat ditemui dari nukilan-nukilan yang terdapat pada kitab-kitab karya muridnya dan para ulama sesudahnya.
 Abu Zur’ah mengatakan tentangnya, “Pekerjaan dia adalah menulis dan membuat risalah. Risalah-risalah dia sangat menyentuh.” Ia begitu dihormati oleh Khalifah Al-Manshur dan pernah ditawari untuk menjadi hakim (Qadhi oleh Khalifah namun Al-Auza'i menolaknya. Di akhir hayatnya, ia berangkat ke Beirutuntuk melaksanakan tugas ribath (menjaga daerah perbatasan) dan wafat di sana. Dikatakan Warisan yang ia tinggalkan hanya enam dinar yang merupakan sisa dari sedekah yang dia berikan.[1]
B.    Masa Muda Al Awza’i
Al-Abbas bin al-Walid bercerita bahwa guru-gurunya berkata, bahwa al-Auza’i bercerita, “Ayahku meninggal ketika aku masih kecil. Pada suatu hari aku bermain-main dengan anak-anak sebayaku, maka lewatlah seseorang (dikenal sebagai seorang syaikh yang mulia dari Arab), lalu anak-anak lari ketika melihatnya, sedangkan aku tetap di tempat. Lantas Syaikh tersebut bertanya kepadaku, “Kamu anak siapa?”; maka saya menjawabnya. Kemudian dia berkata lagi, “Wahai anak saudaraku, semoga Allah merahmati ayahmu.” Lalu dia mengajakku kerumahnya, dan tinggal bersamanya sehingga aku baligh.
Dia mengikutsertakan aku dalam dewan (kantor/mahkamah pengadilan) untuk bermusyawarah dan juga ketika pergi bersama rombongan ke Yamamah. Tatkala aku sampai di Yamamah, aku masuk ke dalam masjid jami’. Pada waktu keluar masjid ada seorang temanku berkata kepadaku, “Saya melihat Yahya bin Abi Katsir (salah seorang ulama Yamamah) kagum kepadamu; dan dia mengatakan, ‘Tidaklah saya melihat di antara para utusan itu ada yang lebih mendapatkan petunjuk daripada pemuda itu!”
Al-Auza’i berkata, “Kemudian aku bermajelis dengannya dan menulis ilmu darinya hingga 14 atau 13 buku, kemudian terbakar semuanya.” Beliau adalah orang yang pertama kali menulis buku ilmu di Syam.[2]
Beliau adalah orang yang menghidupkan malamnya dengan shalat lail, membaca al-Qur’an dan menangis. Bahkan sebagian penduduk kota Beirut bercerita bahwa pada suatu hari ibunya memasuki rumah al-Auza’i dan memasuki kamar shalatnya, maka dia mendapati tempat shalatnya basah karena air mata tangisan malam harinya.
Beliau meninggal pada tahun 153 H, dan kebanyakan ulama berkata bahwa beliau meninggal pada tahun 157 H di bulan Shafar. ebab kematiannya, bahwa setelah beliau menyelesaikan pekerjaannya mengecat sesuatu dengan cat berwarna, kemudian masuk kamar mandi yang ada di rumahnya; sementara istrinya masuk bersamanya dengan membawa tabung yang berisi arang agar beliau tidak kedinginan di dalamnya. Istrinya menutup pintu kamar mandi tersebut. Ketika asap arang itu menyebar, beliau menjadi lemas. Beliau berusaha membuka pintu, tetapi tidak bisa. Kemudian beliau terjatuh, dan kami menemukannya dalam keadaan tangan menghitam dan menghadap ke arah kiblat.
Abu Mushir berkata tentang kematian al-Auza’i, bahwa ketika dia berada dikamar mandi, istrinya menutup pintu kamar mandi tersebut tanpa sengaja, sehingga hal itulah yang menjadi penyebab kematiannya. Karenanya Sa’id bin Abdul Aziz memerintahkan istri al-Auza’i untuk membebaskan seorang budak. Al-Auza’i tidak meninggalkan harta warisan melainkan uang sebanyak 6 dinar.
Sumbangan beliau untuk ekonomi Islam:
1.       Awza’i cenderung membenarkan kebebasan dalam kontrak dan memfasilitasi orang-orang dalam transaksi mereka.
2.       Memberlakukan sistem bagi-hasil pertanian (muzaraah) karena system ini di butuhkan seperti halnya dia membolehkan bagi hasil keuntungan (Mudharabah). Dalam hal ini, modal di pinjamkan boleh dalam bentuk tunai atau natura yang ditolak oleh beberapa ahli hukum lainnya.
3.       Menggunakan pendekatan yang lebih fleksibel dalam kontrak Salam.[3]

C.    Perkembangan Madzhab Al-Auza’ie
      Madzhab Al-Auza’i dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Imam Malik dan Sufyan bin Uyainah, sebelum kedua tokoh itu mendirikan madzhabnya sendiri. Madzhab Al-Auza’i sempat diamalkan orang di Syam (Syiria) selama 220 tahun sebelum terdesak oleh madzhab Syafi’i. Madzhab tersebut juga pernah berkembang di Andalusia, namun akhirnya tergantikan oleh madzhab Maliki. Fatwa dan pemikiran Al-Auza’i sebenarnya belum pernah terkodifikasi (mudawwan) dalam satu buku tersendiri.
     Salah satu tokoh berkembangannya madzhab ini ialah Abdurrahman bin Ibrahim (245 H) dari keluarga Umawi (penguasa ketika itu), yang menyebarkan madzhab al-Auza’ie dengan posisinya sebagai Gubernur Yordan serta Palestina ketika itu. Dan juga, yang masyhur ialah Sho’sho’ah bin Salam bin Abdullah al-Dimasyqa (190 H) yang membawa madzhab ini ke Andalus, yang mana beliau juga seorang khathib di Qurthuba.[4]
       Pemikiran Imam yang bersahaja itu tersebar di banyak kitab seperti Ikhtilaf Al-Fuqaha karya Ibnu Jarir Ath-Thabari dan Al-Umm karya Imam Syafi’i.         Dalam Al-Umm, Imam Syafi’i mengulasnya secara khusus dalam satu bab tersendiri yang bertajuk kitab siyarul Auza’i, yang berisi perdebatan antara Imam Hanafi dan ulama Hanafiah dengan Imam Al-Auza’i. Kitab lain yang memuat pendapat Al-Auza’i antara lain Muqaddimah al-Jarh wat Ta’dil karya Abu Hatim, Tarikh Damsyiq karya Ibnu Asakir Ad-Dimasyqi dan Al-Bidayah wan Nihayah karya Abul Fida Muhmmad ibn Katsir Ad-Dimasyqi. Keilmuan Imam Al-Auza’i begitu membekas di hati rakyat Beirut hingga saat ini. Terbukti salah satu akademi studi Islam di kota itu yang didirikan pada tahun 1980an diberi nama Kulliyah Al-Imam Al-Auza’i lid Dirasa al-Islamiyyah, Akademi Studi Keislaman Imam Al-Auza’i.

D.    Pujian Para Ulama terhadap Al Awza’i
·       Al-Kharibi mengatakan, “Al-Auza’i adalah manusia terbaik di zamannya. Dia layak untuk mendapat jabatan khilafah.” Ibnu Mushir mengatakan dia menghidupi malamnya dengan salat dan mengaji Qur'an. Bisyr bin Mundzir mengatakan, “Saya melihat Al-Auza’i seperti orang buta, karena khusyuknya.”
·       Abdul Malik bin Muhammad mengatakan, "Tak sekalipun Al-Auza'i berbicara selekas Salat Subuh, hingga dia berdzikir kepada Allah. Kalau perkataannya cuma satu, dia akan menjawabnya."
Demikianlah, tak hanya dikenal sebagai ulama yang alim, Imam Abdurrahman Al-Auza’i juga termasyhur dengan keshalihan dan ketaqwaannya. Perihal ketaqwaan Al-Auza’i, sebagian penduduk kota Beirut menceritakan, suatu hari ibunya memasuki rumah sang imam dan memasuki kamar shalatnya. Sang ibu mendapati tempat shalat Imam Al-Auz’ai basah karena sisa air mata tangisan malam harinya.
Ketika berita keluasan ilmunya tersebar, para penuntut ilmu pun berduyun-duyun datang dan belajar kepada Imam Al-Auza’i. Di antara mereka tercatat Syu’bah, Sufyan Ats-Tsauri, Yunus bin Yazid, Malik, Ibnul Mubarok, Abu Ishaq Al-Fazari, Yahya Al-Qadhi, Yahya Al-Qaththan, Muhammad bin Katsir, Muhammad bin Syu’aib dan masih banyak lagi.

E.    Dasar pemikiran Ekonomi Al-Awza’i
Dasar pemikiran ekonomi Abdurrahman Al-Awza’i adalah beliau cenderung membebaskan orang melakukan kontrak dan untuk memfasilitaskan orang dalam transaksi mereka ia memberlakukan bagi hasil pertanian (muzraah) sesuai dengan kebutuhannya sebagaimana ia membolehkan bagi hasil usaha. Tampak pada masa itu sudah di kenalkan sharecropping dan syirkah bahkan sudah terjadi salah satu bentuk syirkah yang selanjutnya yang dikenal dengan mudharabah.

F.     Berakhirnya Madzhab Al-Awza’i
Sayangnya, di pertengahan abad ke-3, madzhab ini perlahan mulai hilang dan ditinggalkan serta tidak ada lagi yang mengamalkan. Salah satu penyebabnya adalah masuknya madzhab Imam al-Syafi’i di awal abad ke-3 ke Syam, yang akhirnya menggerus Madzhab Al-Awza’i. Kalau di Andalus, madzhab initergerus oleh eksistensinya madzhab al-Malikiyah di pertengahan abad ke-3 tersebut.[5]
Tapi kalau diteliti lebih dalam, punahnya madzhab ini bukan hanya karena adanya madzhab baru yang datang, tapi kerena memang tidak adanya budaya pelestarian ilmu dengan tulisan yang dilakukan oleh para murid dan pengikut Imam al-Auza’i. Mereka hanya mengamalkan tanpa mengabadikan. Akhirnya kita sulit untuk melihat fiqih dan corak ushul madzhab al-Auza’i serta fatwa-fatwa beliau. Tapi kita akan masih mendapati beberapa pendapat fiqih beliau di beberapa kitab fiqih Muqaranah Madzhab seperti Kitab Bidayatul-Mujtahid karangan Imam Ibnu Rusyd, atau juga kitab al-Majmu’ karangan Imam al-Nawawi, serta kitab Bada’i al-Shana’i karangan Imam al-Kasani dari kalangan al-Hanafiyah.   



2.     Imam Malik bin Annas
A.    Biografi Imam Malik bin Anas (93 – 197H / 712 -795M)
Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Harits bin Ghuyman bin Khutsail bin Amr bin Harits. Ibunya adalah Aliyah bin Syarik al-Azdiyah. Keluarganya berasal dari Yaman, lalu pada masa Umar bin Khattab, sang kakek pindah ke Kota Madinah dan menimba ilmu dengan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menjadi salah seorang pembesar tabi’in.
Imam Malik dilahirkan di Kota Madinah 79 tahun setelah wafatnya Nabi kita Muhammad, tepatnya tahun 93 H. Tahun kelahirannya bersamaan dengan tahun wafatnya salah seorang sahabat Nabi yang paling panjang umurnya, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Malik kecil tumbuh di lingkungan yang religius, kedua orang tuanya adalah murid dari sahabat-sahabat yang mulia. Pamannya adalah Nafi’, seorang periwayat hadis yang terpercaya, yang meriwayatkan hadis dari Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat besar lainnyaradhiallahu ‘anhum. Dengan lingkungan keluarga yang utama seperti ini, Imam Malik dibesarkan.
Awalnya, saudara Imam Malik yang bernama Nadhar lebih dahulu darinya dalam mempelajari hadits-hadits Nabi. Nadhar mendatangi para ulama tabi’in untuk mendengar langsung hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari para sahabat. Kemudian Imam Malik pun mengikuti jejak saudaranya dalam mempelajari hadits. Beberapa waktu berlalu, Imam Malik melangkahi saudaranya dalam ilmu hadits. Kecemerlangannya semakin tampak karena Malik juga menguasai ilmu fiqh dan tafsir.[6]

B.    Perjalanan Menuntut Ilmu dan Menjadi Ulama Madinah 
Ibu Imam Malik adalah orang yang paling berperan dalam memotivasi dan membimbingnya untuk memperoleh ilmu. Tidak hanya memilihkan guru-guru yang terbaik, sang ibu juga mengajarkan anaknya adab dalam belajar.[7] Ibunya selalu memakaikannya pakaian yang terbaik dan merapikan imamah anaknya saat hendak pergi belajar. Ibunya mengatakan, “Pergilah kepada Rabi’ah, contohlah akhlaknya sebelum engkau mengambil ilmu darinya.”
Imam Malik belajar dari banyak guru, dan ia memilih guru-guru terbaik di zamannya agar banyak memperoleh manfaat dari mereka. Di antara pesan dari gurunya yang selalu beliau ingat adalah untuk tidak segan mengatakan “Saya tidak tahu” apabila benar-benar tidak mengetahu suatu permasalahan. Salah seorang guru beliau yang bernama Ibnu Harmaz berpesan, “Seorang yang berilmu harus mewarisi kepada murid-muridnya perkataan ‘aku tidak tahu’.
Setelah mempelajari ilmu-ilmu syariat secara komperhensif, Malik bin Anas mulai dikenal sebagai seorang yang paling berilmu di Kota Madinah. Beliau menyampaikan pelajaran di Masjid Nabawi, di tengah-tengah penuntut ilmu yang datang dari penjuru negeri.
Salah satu hal yang menarik dari kajian fiqih yang beliau sampaikan adalah penafsiran-penafsiran hadits dan pendapat-pendapat beliau banyak dipengaruhi oleh aktifitas yang dilakukan penduduk Madinah. Menurut Imam Malik, praktik-praktik yang dilakukan penduduk Madinah di masanya tidak jauh dari praktik masyarakat Madinah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]Penduduk Madinah juga mempelajari Islam dari para leluhur mereka dari kalangan para sahabat Nabi. Jadi kesimpulan beliau, apabila penduduk Madinah melakukan suatu amalan yang tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah, maka perbuatan tersebut dapat dijadikan sumber rujukan atau sumber hukum. Inilah yang membedakan Madzhab Imam Malik disbanding 3 madzhab lainnya.

C.    Sifat dan Karakter Imam Malik
Dari segi fisik, Imam Malik dikarunia fisik yang istimewa; berwajah tampan dengan perawakan tinggi besar. Mush’ab bin Zubair mengatakan, “Malik termasuk seorang laki-laki yang berparas rupawan, matanya bagus (salah seorang muridnya mengisahkan bahwa bola mata beliau berwarna biru), kulitnya putih, dan badannya tinggi.” Abu Ashim mengatakan, “Aku tidak pernah melihat ahli hadits  setampan Malik.”
Selain Allah karuniai fisik yang rupawan, Imam Malik juga memiliki kepribadian yang kokoh dan berwibawa. Orang-orang yang menghadiri majlis ilmu Imam Malik sangat merasakan wibawa imam besar ini. Tak ada seorang pun yang berani berbicara saat ia menyampaikan ilmu, bahkan ketika ada seorang yang baru datang lalu mengucapkan salam kepada majlis, jamaah hanya menjawab salam tersebut dengan suara lirih saja. Hal ini bukan karena Imam Malik seorang yang kaku, akan tetapi aura wibawanya begitu terasa bagi murid-muridnya.
Demikian juga saat murid-muridnya berbicara dengannya, mereka merasa segan menatap wajahnya tatkala berbicara. Wibawa itu tidak hanya dirasakan oleh para penuntut ilmu, bahkan para khalifah pun menghormati dan mendengarkan nasihatnya.
Imam Syafii yang merupakan salah seorang murid Imam Malik menuturkan, “Ketika melihat Malik bin Anas, aku tidak pernah melihat seoarang lebih berwibawa dibanding dirinya.” Demikian juga penuturan Sa’ad bin Abi Maryam, “Aku tidak pernah melihat orang yang begitu berwibawa melebihi Malik bin Anas, bahkan wibawanya mengalahkan wibawa para penguasa.”
Imam Malik juga dikenal dengan semangatnya dalam mempelajari ilmu, kekuatan hafalan, dan dalam pemahamannya. Pernah beliau mendengar 30 hadits dari Ibnu Hisyam az-Zuhri, lalu ia ulangi hadits tersebut di hadapan gurunya, hanya satu hadits yang terlewat sedangkan 29 lainnya berhasil ia ulangi dengan sempurna. Imam Syafii mengatakan,
إذا جاء الحديث، فمالك النجم الثاقب
“Apabila disebutkan sebuah hadits, Malik adalah seorang bintang yang cerdas (menghafalnya pen.).
Imam Malik sangat tidak suka dengan orang-orang yang meremehkan ilmu. Apabila ada suatu permasalahan ditanyakan kepadanya, lalu ada yang mengatakan, ‘Itu permasalahan yang ringan.” Maka Imam Malik pun marah kepada orang tersebut, lalu mengatakan, “Tidak ada dalam pembahasan ilmu itu sesuatu yang ringan, Allah berfirman,
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5)
Semua permasalahan agama itu adalah permasalahan yang berat, khususnya permasalahan yang akan ditanyakan di hari kiamat.”
Imam Malik juga seorang yang sangat perhatian dengan penampilannya dan ini adalah karakter yang ditanamkan ibunya sedari ia kecil. Pakaian yang ia kenakan selalu rapi, bersih, dan harum dengan parfumnya. Isa bin Amr mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang yang berkulit putih ataupun merah yang lebih tampan dari Malik. Dan juga ian seseorang yang lebih putih dari pakaiannya.” Banyak riwayat-riwayat dari para muridnya yang mengisahkan tentang bagusnya penampilan Imam Malik, terutama saat hendak mengajarkan hadits, namun satu riwayat di atas kiranya cukup untuk menggambarkan kebiasaan beliau.
Hendaknya demikianlah seorang muslim, terlebih seseorang yang memiliki pengetahuan agama. Seorang muslim harus berpenampilan rapi, bersih, dan jauh dari bau yang tidak sedap. Sering kita lihat saudara-saudara muslim yang dikenal sebagai orang yang taat, mereka berpenampilan lusuh, pakaian tidak rapi karena jarang distrika atau karena lama tidak diganti, dan keluar bau tidak sedap dari tubuh atau pakaiannya, ironisnya ini terkadang terjadi saat shalat berjamaah. Agama kita sangat menganjurkan kebersihan dan Allah mencintai keindahan.

D.      Firasat Yang Tajam
Sering kita dapati ketika membaca biografi orang-orang shaleh bahwasanya mereka memiliki firasat yang tajam. Demikian juga dengan Imam Malik bin Anas rahimahullah. Imam Syafii mengisahkan tentang gurunya ini sebuah kisah yang menunjukkan kuatnya firasat sang guru.
Kata Imam Syafii, “Ketika aku tiba di Madinah, aku bertemu dengan Malik, kemudian ia mendengarkan ucapanku. Ia memandangiku beberapa saat dan ia berfirasat tentangku. Setelah itu ia bertanya, ‘Siapa namamu?’ Kujawab, ‘Namaku Muhammad.’. Ia kembali berkata, ‘Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah, jauhilah perbuatan maksiat, karena aku melihat engkau akan mendapatkan suatu keadaan (menjadi orang besar pen.).”[9]

E.     Wafatnya
Imam malik meninggal dunia di madinah, yaitu pada tanggal 14 bulan rabi’ul awwal tahun 197 hijriah ada juga pendapat yang mengtakan beliau meninggal dunia pada 11, 13 dan 14 bulan rajab. Sementara an-nawawi juga berpendapat beliau meninggal pada bulan safar. Pendapat pertama adalah lebih termasyhur Malik dikebumikan di tanah perkuburan al-baqi’, kuburnya dipintu al-baqi’, semoga Allah merindhainya.
Imam syafi’I pernah berkata : Malik adalah pendidik dan guruku. Darinya aku mempelajari ilmu, tidak seorangpun yang terlebih selamat bagiku selain dari imam malik. Menjadikan beliau sebagain hujjah antara aku dengan Allah Ta’ala. Semoga Allah merahmati Imam Malik dan menempatkannya di surganya yang penuh dengan kenikmatan.
F.       Pemikiran ekonomi Imam Malik bin Anas
Karyanya yang terkenal adalah kitab Al-Muwatta,sebuah kitab hadist bergaya fikih atau kitab fikih bergaya hadist.dan inilah kitab hadist dan fikih tertua .
Dasar pemikiran  ekonomi Imam Malik adalah Malik regarded the ruler to be accountable for welfare to the people. Pemikiran Malik mengisyaratkan tentang perlunya suatu kebijakan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.Di samping itu pemikiran malik juga telah membahas tentang masalah-masalah yang bersifat mashalah ,misalnya,tentang persoalan utility. Apakah untuk sosial atau individu,utility hanya berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Bahwa penguasa mempunyai tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat, memenuhi kebutuhan rakyat seperti halnya yang juga dilakukan oleh Umar bin Khotab.
Menerapkan prinsip atau azaz al-Maslahah, al-Musrsalah. Al-maslahah dapat diartikan sebagai azaz manfaat dan juga bisa diartikan dengan kebebasan, kegunaan, yakni masyarakat banyak.
Dengan pendekatan kedua azaz ini, imam Malik bin Anas, mengakui bahwa pemerintah islam memiliki hak untuk memunggut pajak, bila diperlukan melebihi dari jumlah yang ditetapkan secara khusus dalam syari’ah.
·         Muhammad bin abdul hakim berkata : apabila imam malik mengeluarkan pendapatnya dan orang-orang lain tidak. Maka pendapatnya menjadi hujjah.
·         Ibnu mahdi berkata : tidak ada d atas dunia ini orang yang lebih selamat tentang, hadist-hadist Rasulullah selain dari imam Malik.
·         Imam syafi’I berkata : apabila dating al-atsar maka imam malik sebagai bintang.
·         Abu ayyub bin suwaid berkata : aku tidak pernah melihat seorang yang lebih bessar benar ucapannya selain dari imam malik.
·         Abu hakim arrozi berkata :  imam malik seorang yang mempercayai dan imam untuk Ijjaz dan beliau adalah setegas-tegas sahabat Az-Zuhri. Apabila mereka berselisih, atwanya terserah kepada imam malaik dan malik seirang yang sangat bertaqwa, percakapannya sangat bersih dan beliau lebih halus percakapannya dari ath-thauri dan al-auzai’[10]


Ada beberapa kitab yang menurut para ulama di tulis oleh Imam Malik.
Ø  Risalah ila Ibn Wahab fi al-Qadri           (رسالة الي ابن وهب في القدر)
Ø  Kitab al-Nujum   (كتاب النجوم)
Ø  Risalah fi al-‘Aqidah       (رسالة في العقيدة)
Ø  Tafsir li Gharib    (تفسير لغريب القران)
Ø  Risalah Ila Al-Laits bin Sa’ad      (رسالة الي الليث ابن سعد)
Ø  Risalah Ila Abi Ghisan   (رسالة الي أبي غسان)
Ø  Kitab al-sir          (كتاب السير)
Ø  Kitab al-Manasik             (كتاب المناسك)
Ø  Kitab al-Muwattha’         (كتاب الموطأ)

Menurut data sejarah, sebelum al-Muwattha’ sudah banyak tuisan kumpulan hadis, baik di tulis oleh para sahabat maupun tabi’in. Hanya, tulisan itu habis di telan masa, sehingga tinggal ceritanya saja yang kita peroleh dalam berbagai riwayat kitab hadis dan sejarah. Tentu penyusunan kitab ini merupakan momen yang strategis. Terasa di dalam masyarakat Islam akan kebutuhan catatan ajaran keagamaan dalam bentuk buku yang sistematis, karena tidak ada buku semacam itu. Sebenarnya, yang di kehendaki masyarakat tidak harus buku yang hanya menghimpun hadis semata. Justru yang mereka butuhkan adalah catatan tentang prilaku Nabi dan komentar para sahabat terhadapnya. Kalau perlu, di masukan juga bagaimana pendapat penerusnya. Itu sebabnya, al-Muwattha’ tidak hanya memuat berita perilaku Nabi saja (perbuatan, perkataan, sifat dan pembiarannya), tetapi Imam Malik memaskan pendapatnya sendiri di dalam kitabnya al-Muwattha’.[11]
















Daftar Pustaka
al-'Aziz, '. a.-R. (n.d.). Kitab al-Fiqih 'ala al-Madzhab al-Arba'ah. qismu al-aqwal as-syakhsiyah.

As-Shalih, S. (2013). Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: PT Pustaka Firdaus.

Asy-Syurbasi, A. (1991). Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab. Penerbit Amzah.

Zuhri, P. D. (2003). Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.



[1] Asy-Syurbasi, A,. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab. ( Amzah ,1991 ). hlm. 72.

[2] Ibid,. hlm. 74.
[3] As-Shalih, S., Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2013). hlm. 60.
[4] Ibid,. hlm. 62.
[5] Asy-Syurbasi, A,. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab. ( Amzah ,1991 ). hlm. 80.
[6] al-'Aziz, '. a.-R,. Kitab al-Fiqih 'ala al-Madzhab al-Arba'ah. qismu al-aqwal as-syakhsiyah. hlm. 172.

[7] Ibid,. hlm. 173.
[8] Ibid,. hlm. 175.
[9] Asy-Syurbasi, A,. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab. ( Amzah ,1991 ). hlm. 78.
[10] Zuhri, P. D. (2003). Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis.( Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003). hlm. 43.

[11] As-Shalih, S. (2013). Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. ( Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2013). Hlm. 61.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

pengertian dan perbedaan wakaf, hibah, wasiat, dan waris

MAHABAH DAN MA’RIFAT

Cara Membaca dan Menulis Ta’awudz dan Basmalah