MAHABAH DAN MA’RIFAT


NAMA                : ZULFANISA DAMAYANTI

NPM                   : 1602040055
KELAS                              : Esy D
M.K                     : Akhlak Tasawuf


MAHABAH DAN MA’RIFAT
A.PENGERTIAN MAHABAH
Kata mahabbah berasal dari kata “ahabba, yuhibbu, mahabatan”, yang secara harfiah berarti “mencintai secara mendalam, atau kecintaan yang mendalam”. Dalam Mu'jam al-Fal-safi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Pengertian Mahabbah adalah cinta yang luhur, suci dan tanpa syarat kepada Allah. Setelah membentuk kepribadian manusia maka mahabbah akan mempengaruhi kualitas keimanan seseorang. Hal ini sesuai dengan firman-Nya: Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah 165).
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa mahabbah adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Kecenderungan yang dimaksud oleh al-Ghazali adalah kecenderungan kepada Allah, karena bagi kaum sufi mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanyalah mahabbah kepada Allah. Hal ini dapat di lihat dalam ucapannya, “Barang siapa yang mencintai sesuatu tanpa ada kaitannya dengan mahabbah kepada Allah maka itu adalah suatu kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak dicintai”.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawwuf. Dalam hubungan ini, objek mahabbah lebih ditunjukkan kepada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan diatas , tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhani kepada Tuhan.
            Mahabbah dalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh Al-Qusyairi sebagai berikut:
Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikan nya (kemutlakan) Allah Swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasiha-Nya.
            Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah. Mahabbah berbeda dengan al-raghbah. Mahabbah adalah cinta yang tidak dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al-raghbah adalah cinta yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun harus mengorbankan segalanya.
Harun Nasution mengemukakan bahwa Mahabbah mempunyai beberapa pengertian :
1.Memeluk dan mematuhi perintah Allah, dan membenci sifat yang melawan Allah.
2.Berserah diri kepada Allah.
3.Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT.
   B.Tingkatan Mahabbah
Abu Nasr as Sarraj at-Tusi seorang tokoh sufi terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat :
a.  Mahabbah orang biasa, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan zikir dan    memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya,
b.  Mahabbah orang siddiq (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah   tentang kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu dan cinta kepada Allah,
c.  Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini, yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.

  C.Kiat Menggapai Mahabbah Allah Swt.
1.  Membaca Al-Qur’an dengan mencerna dan memahami kandungan dan maksudnya.
2. Melakukan shalat sunnah peyerta shalat fardhu. Sebab hal ini menghantarkan kepada      tingkatan mahbub (tercinta) setelah fase mahabbah (kecintaan).
3.  Melanggengkan dzikrullah dalam segala kondisi; baik dengan lisan, hati ataupun tindakan.
      Maka ia akan mendapatkan mahabbah sebesar kadar dzikirnya.
4.  Lebih mendahulukan apa yang dicintai Allah daripada cinta hawa nafsunya walau hal itu
     amat berat.
5. Menghayati sifat dan asma Allah, meyakininya dan mengetahuinya. Lalu dia berkubang dalam ilmunya tersebut. Siapa saja yang mengetahui Allah; baik asma, sifat dan af’alNya maka Allah pasti mencintainya.
6. Bersaksi dan mengakui kebaikan Allah, anugerah dan segala nikmatNya; baik yang jelas atau yang tersamar. Sungguh hal ini akan mendatangkan mahabbah kepadaNya
Yaitu sebab yang paling menakjubkan , yakni kekhusyu’an hati secara keseluruhan di hadapan Allah.
7. Menyendiri dan menyepi -saat Allah turun ke langi bumi- untuk bermunajat kepadaNya, membaca kalamNya, menghadap sepenuh hati dan sopan dalam beribadah di hadapanNya. Kemudian diakhiri dengan istighfar dan taubat.
8. Suka berkumpul dengan para pendamba mahabbah yang jujur, hingga dapat memetik ucapan baik mereka. Lalu menjadikan kita tidak berbicara kecuali dengan yang berguna bagi diri kita dan orang lain.
9. Menajuhi segala faktor yang menghalangi hati dengan Allah. Sebab, jika hati seseorang rusak maka ia tak akan dapat memtik manfaat dari kehidupan dunia dan akhiratnya.


D.Tokoh  Tasawuf Mahabbah             
Aliran sufi Mahabbah  di pelopori dan dikembangkan oleh seorang sufi wanita bernama Rabi’ah Al-Adawiyah, ia lahir di Basrah (Irak)  pada tahun 95 H/713 M dan meninggal  pada tahun 185 H/801. Meski ia hidup di basrah sebagai seorang hamba sahaya. Hal itu tidak menghalanginya untuk tumbuh menjadi seorang sufi  yang disegani di zamannya, bahkan hingga zaman modern sekarang ini.
E.PENGERTIAN MA’RIFAH
Pengertian Ma’rifah dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman, serta pengetahuan tentang rahasia hakikat agama. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi bathin dengan mengetahui rahasianya. Para sufi mengatakan perihal Ma’rifat adalah :
1. Kalau mata dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu  yang dilihatnya hanyalah Allah.
2. Makrifat adalah cermin, yang mana yang dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang arif saat tidur dan bangun hanyalah Allah.
4. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihatnya akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan dan bentuk keindahannya.
Dikemukakan al-Kalazabi, ma’rifat datang sesudah mahabbah, karena ma’rifat lebih mengacu pada pengetahuan sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan.
    Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah puncak dari seluruh maqam spiritual dengan derajad/level yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya”. Ma’rifat merupakan karunia pemberian langsung dari Allah, maka ia sekali-kali tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya amal kebaikan. Ma’rifat adalah anugrah Allah yang didasari kasih Tuhanke pada hamba-Nya. Adapun amal ibadah sebagai persembahan hamba kepada Tuhannya.
   Menurut Al-Ghazali, ma’rifat ada terlebih dahulu daripada mahabbah karena mahabbah muncul dari ma’rifat. Namun mahabbah yang dimaksud Al-Ghazali berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi’ah al-adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rizki, kesenangan, dan lain-lain.Al-Ghazali berpendapat bahwa ma’rifat dan mahabbah adalah level paling tinggiyang bisa dicapai seorang sufi. Dan, pengetahuanyang diperolehdari ma’rifat lebih tinggimutunya daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
Alat yang dapat digunakan untuk menggapai ma’rifat telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), tetapi artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris karena qalb selain merupakan alat untuk merasa, juga alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan karena qalb yang bersangkutan telah disinari cahaya Tuhan.
Dijelaskan pula, bahwa tanda orang makrifat itu ada tiga:
1. Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya.
2. Tidak meyakini ilmu bathiniah yang dapat merusak lahiriah hukum.
3. Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya dan tidak membawanya pada  kebinasaan sampai merusak tabir dan hal-hal yang diharamkan oleh Allah.
Menurut Al-Qusyairi jalan untuk mencapai Ma’rifat ada tiga yaitu:
1. Qalb ( اَلْقَلْبُ ) fungsinya untuk dapat mengetahui sifat Tuhan
2. Ruh (اَلرُّحُ ) fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.
3. Sir ( اَلسِّرُّ ) fungsinya untuk melihat Tuhan.

              Kedudukan Sir lebih halus dari Ruh dan Qalb. Dan ruh lebih halus qalb. Qalb di samping sebagai alat untuk merasa juga sebagai alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan aql ialah kalau ‘aql tidak dapat menerima pengetahuan tentang hakikat Tuhan, tetapi Qalb dapat mengetahui Hakikat dari segala  yang ada dan manakala dilimpahi suatu cahaya dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
            Posisi Sir ( اَلسِّرُّ )bertempat di dalam Ruh. Dan ruh ( اَلرُّوْحُ )sendiri berada di dalam qalb. Sir akan dapat menerima pantulan cahaya dari Allah apabila qalb dan ruh benar-benar suci, kosong dan tidak berisi suatu apapun. Pada suasana yang demikian, Tuhan akan menurunkan cahaya-Nya kepada mereka (Sufi). Dan sebaliknya mereka yang melakukannya ( orang Sufi ) yang dilihat hanyalah Allah SWT.
            Pada kedudukan diatas ia (orang Sufi) telah berada pada tingkat “Ma’rifah”. Sifat dari Ma’rifah Tuhan bagi seorang Sufi adalah kontinyu (terus menerus). Semakin banyak mendapat ma’rifah Tuhan, semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan. Sehingga orang Sufi semakin dengan Tuhan. Namun untuk memperoleh ma’rifah yang penuh tentang Tuhan mustahil, sebab manusia bersifat terbatas sedangkan Tuhan bersifat tidak terbatas.

Secara garis besar dapat diambil sebuah kejelasannya, bahwa Ma’rifat dapat dibagi kedalam dua kategori:
1. Ma’rifat  Ta’limiyat
 Ma’rifat Ya’limiyat merupakan istilah lain Ma’rifat yang di lontarkan oleh al-Ghazali25, dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu. ta’limiyat berasal dari kata ta’lama, yuta’limu, ta’liman-ta’limiyatan yang berarti mencari pengetahuan atau dalam arti lain memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang yang sedang mencari ilmu disebut muta’alim. Oleh karena itu Ma’rifat ta’limiyat yaitu berjalan untuk mengenal Allah dari jalan yang biasa “mulai dari bawah hingga keatas”.
            Di sisi teori yang lain Ma’rifat ta’limiyat dapat disebut juga dengan Ma’rifat orang salik Pada mulanya salik mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan, kemudian mengenal nama-nama-Nya, kemudian mengenal sifat-sifat-Nya dan pada akhirnya mengenal Dzat Pencipta alam -Allah Azza wa jalla-.Adapun penjelasan mengenai Ma’rifat terhadap Asma, Sifat, dan Dzat Tuhan, diuraikan dalam 99 Nama-nama Tuhan, dalam istilah lain disebut asamul al-husna, sebagaimana yang dilontarkan oleh M. Ali Chasan Umar bahwa asma al-husna adalah Nama-nama Allah yang terbaik dan yang Agung, yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, yang jumlahnya ada 99 (sembilan puluh sembilan) Nama.
2. Ma’rifat Laduniyah
           Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya. Ibnu ‘Atha’illah memberi istilah lain terhadap Ma’rifat laduniyah dengan sebutan Ma’rifat orang mahjdub. Ma’rifat orang mahjdub yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang diberikan secara langsung oleh Tuhan kepada manusia yang ada disisi kesamaannya dengan ma’rifat.
              Lebih jauh, kalangan sufi tersebut menyatakan bahwa orang yang telah mengenal Allah, juga akan dianugrahi Ilmu laduni. Ilmu laduni merupakan ilmu yang di ilhamkan oleh Allah Swt. Kepada hati hamba-Nya tanpa melalui suatu perantara  (wasitaha), sebagaimana perantara yang pada umumnya dibuat untuk memeperoleh ilmu pengetahuan seperti talqin dari sufi.
               Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada Allah.
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya. Terjaganya ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup.
1.Pertama, Hidup selalu berada di jalan yang benar (on the right track).
2.Kedua, memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari terjaganya keimanan.
3.Ketiga, Allah akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah.
4.Keempat, seorang ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis karena Allah akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan.
5.Kelima, seorang ahli ibadah memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Allah SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ibadah akan memiliki kemampuan untuk bertobat.
6.Keenam, selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada poin pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita akan dituntun untuk melewati jalan tersebut.
7.Ketujuh, seorang ahli ibadah akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan yang diambilnya selalu tepat.
a. Adapun cara-cara untuk dapat menuju Mahabbah dan Ma’rifat adalah :
1. Tobat, baik dari dosa besar maupun dosa kecil
2. Zuhud, yaitu mengasingkan diri dari dunia ramai
3. Wara (sufi), mencoba meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat shubhat
4. Faqir, hidupsebagai orang fakir
5. Sabar, dalammenghadapisegalamacamcobaan
6. Tawakkal, menyerusebulat-bulatnyapadakeputusanTuhan
7. Ridha, merasasenangmenerimasegalatakdir.

 F.Hubungan mahabbah dan Ma’rifah

Mahabbah senantiasa didampingi oleh ma'rifah. Mababbah dan mari'fah merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama. Keduanya menggambarkan hubungan rapat antara sufi dan Tuhan. Sebagaimana halnya dengan mababbah, mari'fah juga terkadang dipandang sebagai maqam terkadang sebagai hal. Dalam hubungannya dengan maqamat, tentang urutan antara mahabbah dan ma'rifah terjadi perbedaan. Ada yang mendahulukan mahabbah,
Ada pula yang mengatakan ma'rifah datang lebih dulu. Sufi yang mendahulukan mahabbah menganggap bahwa mari'fah adalah maqam yang tertinggi, yang bisa dicapai oleh orang yang telah cinta kepada Allah. Allah tidak akan membukakan hijab-Nya jika seorang sufi belum benar-benar cinta kepada-Nya.
Sedangkan sufi yang mengatakan bahwa ma'rifah itu datangnya lebih dulu dari mahabbah, karena berpandangan bahwa seorang sufi harus mengenal Tuhan sebelum mencintai-Nya. Orang yang tidak mengenal-Nya tidak mungkin mencintai-Nya.
Menurut Titus Burckhardt, sebenarnya tidak ada pemisahan sepenuhnya antara kedua modus rohani ini. Pengetahuan tentang Tuhan melahirkan cinta, sementara cinta mensyaratkan adanya pengetahuan mengenai objek cinta. Objek cinta rohani adalah keindahan Tuhan. Dan objek pengetahuan hati sanubari adalah kebenaran yang sebenarnya tentang Tuhan. Kebenaran dan keindahan itu menjadi ukuran satu sama lain.
Menurut Harun Nasution menyebutkan bahwa Rabi'ah, dengan pembagian dua cintanya, telah menggambarkan peralihan dari mahabbah ke ma'rifah. Rasa cinta yang tulus kepada Tuhan dibalas Tuhan, yaitu terbukanya tabir antara manusia dengan Tuhan, dan sufi pun melihat Tuhan dengan mata hati.
Tentang mari'fah, Rabi'ah sendiri pemah berkata: "Buah ilmu rohani adalah agar engkau palingkan mukamu dari makhiuk agar engkau dapat memusatkan perhatianmu hanya kepada Allah saja, karena mcl'rifahitu adalah mengenal Allah sebaik-baiknya."
Ketika Rabi'ah ditanya: "Apakah kau melihat Tuhan yang kausembah?" Maka ia menjawab: "Jika aku tidak melihat-Nya, maka aku tidak akan menyembah-Nya. Dari dua pernyataan Rabi'ah di atas dan dua cinta Rabi'ah, dalam sudut pandang sebagai maqamat, maka mahabbahberdampingan dengan ma'rifah. Kebersamaan dua maqam ini barangkali akan lebih mudah dipahami jika kita kaitkan dengan pembagian ma'rifah oleh Dzu alNun al-Mishri dan
mahabbah oleh al-Sarraj. Pada keduanya ada pembagian dalam tiga tingkat.
Dzu al-Nun mengkiasifikasikan ma'rifah kepada tiga tingkatan:
a.  Mari'fah awam : mengetahui Tuhan dengan perantaraan ucapan syahadat.
b.  Ma'rifah ulama : mengetahui Tuhan dengan logika akal.
c.  Ma'rifah sufi : mengetahui Tuhan dengan perantaraan hati.

G.Tujuan Mahabbah dan Ma’rifat
            Tujuan Mahabbah yaitu untuk memperoleh kebutuhan, baik yang bersifat material maupun spiritual untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan,untuk memperoleh kesenangan bathiniahyang sulit dilukiskan dengan kata-kata,tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam makrifat adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
C.Kedudukan Mahabbah dan Makrifat
            Ada yang berpendapat bahwa istilah Mahabbah selalu berdampingan dengan Ma’rifat,baik dalam kedudukannya maupun pengertiannya.Kalau Ma’rifat adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati(al-qalb),maka Mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta(roh). Smentara al-Ghozali dalam kitabnya ihya ulumiddin memandang makrifat datang sebelum mahabbah.Sedangkan al-Kalabasi menjelaskan bahwa makrifat datang sesudah mahabbah.Selanjutnya ada yang mengatakan bahwa makrifat dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebutkan bebarengan. Keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan.Dengan kata lain mahabbah dan makrifat menggambarkan dua aspek rapat yang ada antara seorang sufi dengan Tuhan.
Dalam literature-literatur tasawuf,tidak ada kesepakatan tentang mahabbah apakah termasuk hal atau maqam. Dalam hal ini,kalau kita perhatikan kembali syair-syair dan pernyataan Rabi’ah serta pendapat-pendapat sufi,dapat dipahami bahwa Mahabbah adalah hal.Sebagaimana halnya dengan mahabbah, makrifat ini dianggap sebagai hal.

 



                                                                                                                                

Komentar

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    www.arenakartu.cc
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

pengertian dan perbedaan wakaf, hibah, wasiat, dan waris

Cara Membaca dan Menulis Ta’awudz dan Basmalah