MAHABAH DAN MA’RIFAT
NPM :
1602040055
KELAS :
Esy D
M.K :
Akhlak Tasawuf
MAHABAH DAN MA’RIFAT
A.PENGERTIAN MAHABAH
Kata mahabbah berasal dari kata “ahabba, yuhibbu, mahabatan”, yang secara harfiah berarti “mencintai
secara mendalam, atau kecintaan yang mendalam”. Dalam Mu'jam al-Fal-safi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah
adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah dapat
pula berarti al-wadud, yakni yang
sangat kasih atau penyayang. Pengertian Mahabbah adalah cinta yang luhur, suci
dan tanpa syarat kepada Allah. Setelah membentuk kepribadian manusia maka
mahabbah akan mempengaruhi kualitas keimanan seseorang. Hal ini sesuai dengan
firman-Nya: Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada
Allah.” (QS. Al-Baqarah 165).
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa mahabbah adalah kecenderungan
hati kepada sesuatu. Kecenderungan yang dimaksud oleh al-Ghazali adalah
kecenderungan kepada Allah, karena bagi kaum sufi mahabbah yang sebenarnya bagi
mereka hanyalah mahabbah kepada Allah. Hal ini dapat di lihat dalam ucapannya,
“Barang siapa yang mencintai sesuatu tanpa ada kaitannya dengan mahabbah kepada
Allah maka itu adalah suatu kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang
berhak dicintai”.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk
menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawwuf. Dalam hubungan ini,
objek mahabbah lebih ditunjukkan kepada Tuhan. Dari sekian banyak
arti mahabbah yang dikemukakan diatas , tampaknya ada juga yang cocok
dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf,
yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhani
kepada Tuhan.
Mahabbah
dalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh Al-Qusyairi sebagai
berikut:
Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang
bentuknya adalah disaksikan nya (kemutlakan) Allah Swt oleh hamba, selanjutnya
yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasiha-Nya.
Mahabbah (kecintaan)
Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil
bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada
hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang
melimpah. Mahabbah berbeda dengan al-raghbah.
Mahabbah adalah cinta yang tidak dibarengi dengan harapan pada hal-hal
yang bersifat duniawi, sedangkan al-raghbah adalah cinta yang
disertai dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun harus
mengorbankan segalanya.
Harun Nasution
mengemukakan bahwa Mahabbah mempunyai beberapa pengertian :
1.Memeluk
dan mematuhi perintah Allah, dan membenci sifat yang melawan Allah.
2.Berserah
diri kepada Allah.
3.Mengosongkan
hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT.
B.Tingkatan Mahabbah
Abu Nasr as Sarraj at-Tusi seorang tokoh sufi
terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat :
a. Mahabbah orang biasa, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT
dengan zikir dan memperoleh kesenangan
dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya,
b. Mahabbah orang siddiq (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang
mengenal Allah tentang kebesaran-Nya,
kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat menghilangkan
hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang memisahkan diri
seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup menghilangkan
kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu dan cinta
kepada Allah,
c. Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang telah penuh
sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini, yang dilihat
dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada akhirnya
sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta pada
tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat berdialog
dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
C.Kiat Menggapai Mahabbah
Allah Swt.
1. Membaca
Al-Qur’an dengan mencerna dan memahami kandungan dan maksudnya.
2. Melakukan
shalat sunnah peyerta shalat fardhu. Sebab hal ini menghantarkan kepada tingkatan mahbub (tercinta) setelah fase
mahabbah (kecintaan).
3. Melanggengkan dzikrullah dalam segala kondisi;
baik dengan lisan, hati ataupun tindakan.
Maka ia akan mendapatkan mahabbah sebesar
kadar dzikirnya.
4. Lebih mendahulukan apa yang dicintai Allah
daripada cinta hawa nafsunya walau hal itu
amat berat.
5. Menghayati
sifat dan asma Allah, meyakininya dan mengetahuinya. Lalu dia berkubang dalam
ilmunya tersebut. Siapa saja yang mengetahui Allah; baik asma, sifat dan
af’alNya maka Allah pasti mencintainya.
6. Bersaksi
dan mengakui kebaikan Allah, anugerah dan segala nikmatNya; baik yang jelas
atau yang tersamar. Sungguh hal ini akan mendatangkan mahabbah kepadaNya
Yaitu sebab yang paling menakjubkan , yakni
kekhusyu’an hati secara keseluruhan di hadapan Allah.
7. Menyendiri
dan menyepi -saat Allah turun ke langi bumi- untuk bermunajat kepadaNya,
membaca kalamNya, menghadap sepenuh hati dan sopan dalam beribadah di
hadapanNya. Kemudian diakhiri dengan istighfar dan taubat.
8. Suka
berkumpul dengan para pendamba mahabbah yang jujur, hingga dapat memetik ucapan
baik mereka. Lalu menjadikan kita tidak berbicara kecuali dengan yang berguna
bagi diri kita dan orang lain.
9. Menajuhi
segala faktor yang menghalangi hati dengan Allah. Sebab, jika hati seseorang
rusak maka ia tak akan dapat memtik manfaat dari kehidupan dunia dan
akhiratnya.
D.Tokoh
Tasawuf Mahabbah
Aliran sufi
Mahabbah di pelopori dan dikembangkan oleh seorang sufi wanita bernama
Rabi’ah Al-Adawiyah, ia lahir di Basrah (Irak) pada tahun 95 H/713 M dan
meninggal pada tahun 185 H/801. Meski ia hidup di basrah sebagai seorang
hamba sahaya. Hal itu tidak menghalanginya untuk tumbuh menjadi seorang
sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga zaman modern sekarang ini.
E.PENGERTIAN MA’RIFAH
Pengertian
Ma’rifah dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat
yang artinya pengetahuan dan pengalaman, serta pengetahuan tentang rahasia
hakikat agama. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal
yang bersifat zahir, tetapi bathin dengan mengetahui
rahasianya. Para sufi mengatakan perihal Ma’rifat adalah :
1. Kalau
mata dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan
ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah.
2. Makrifat
adalah cermin, yang mana yang dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang
dilihat orang arif saat tidur dan bangun hanyalah Allah.
4. Sekiranya
Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihatnya akan mati karena
tidak tahan melihat kecantikan dan bentuk keindahannya.
Dikemukakan al-Kalazabi, ma’rifat datang sesudah mahabbah, karena ma’rifat
lebih mengacu pada pengetahuan sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan.
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali
mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah puncak dari seluruh maqam spiritual
dengan derajad/level yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya”. Ma’rifat merupakan karunia pemberian langsung dari Allah, maka
ia sekali-kali tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya amal kebaikan.
Ma’rifat adalah anugrah Allah yang didasari kasih Tuhanke pada hamba-Nya.
Adapun amal ibadah sebagai persembahan hamba kepada Tuhannya.
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat ada terlebih dahulu
daripada mahabbah karena mahabbah muncul dari ma’rifat. Namun mahabbah yang
dimaksud Al-Ghazali berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi’ah
al-adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat
baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia
yang memberi manusia hidup, rizki, kesenangan, dan lain-lain.Al-Ghazali
berpendapat bahwa ma’rifat dan mahabbah adalah level paling tinggiyang bisa
dicapai seorang sufi. Dan, pengetahuanyang diperolehdari ma’rifat lebih tinggimutunya
daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
Alat yang
dapat digunakan untuk menggapai ma’rifat telah ada dalam diri manusia, yaitu
qalb (hati), tetapi artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris karena
qalb selain merupakan alat untuk merasa, juga alat untuk berpikir. Bedanya qalb
dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya
tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada.
Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb
yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian zikir
dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan karena
qalb yang bersangkutan telah disinari cahaya Tuhan.
Dijelaskan
pula, bahwa tanda orang makrifat itu ada tiga:
1. Cahaya
makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya.
2. Tidak
meyakini ilmu bathiniah yang dapat merusak lahiriah hukum.
3. Banyaknya
nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya dan tidak membawanya pada kebinasaan sampai merusak tabir dan hal-hal
yang diharamkan oleh Allah.
Menurut Al-Qusyairi jalan untuk mencapai Ma’rifat ada tiga
yaitu:
1. Qalb ( اَلْقَلْبُ ) fungsinya
untuk dapat mengetahui sifat Tuhan
2. Ruh (اَلرُّحُ ) fungsinya
untuk dapat mencintai Tuhan.
3. Sir ( اَلسِّرُّ ) fungsinya
untuk melihat Tuhan.
Kedudukan Sir lebih halus dari Ruh dan
Qalb. Dan ruh lebih halus qalb. Qalb di samping sebagai alat untuk merasa juga
sebagai alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan aql ialah kalau ‘aql tidak
dapat menerima pengetahuan tentang hakikat Tuhan, tetapi Qalb dapat mengetahui
Hakikat dari segala yang ada dan manakala dilimpahi suatu cahaya
dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
Posisi Sir ( اَلسِّرُّ )bertempat di dalam Ruh. Dan ruh ( اَلرُّوْحُ )sendiri berada di dalam qalb. Sir akan dapat menerima
pantulan cahaya dari Allah apabila qalb dan ruh benar-benar suci, kosong dan
tidak berisi suatu apapun. Pada suasana yang demikian, Tuhan akan menurunkan
cahaya-Nya kepada mereka (Sufi). Dan sebaliknya mereka yang melakukannya (
orang Sufi ) yang dilihat hanyalah Allah SWT.
Pada kedudukan diatas ia (orang Sufi) telah berada pada tingkat “Ma’rifah”.
Sifat dari Ma’rifah Tuhan bagi seorang Sufi adalah kontinyu (terus menerus).
Semakin banyak mendapat ma’rifah Tuhan, semakin banyak yang diketahui tentang
rahasia-rahasia Tuhan. Sehingga orang Sufi semakin dengan Tuhan. Namun untuk
memperoleh ma’rifah yang penuh tentang Tuhan mustahil, sebab manusia bersifat
terbatas sedangkan Tuhan bersifat tidak terbatas.
Secara garis
besar dapat diambil sebuah kejelasannya, bahwa Ma’rifat dapat dibagi kedalam
dua kategori:
1. Ma’rifat Ta’limiyat
Ma’rifat Ya’limiyat merupakan istilah lain Ma’rifat yang di
lontarkan oleh al-Ghazali25, dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang
dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu. ta’limiyat berasal dari kata ta’lama,
yuta’limu, ta’liman-ta’limiyatan yang berarti mencari pengetahuan atau dalam
arti lain memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang yang sedang mencari
ilmu disebut muta’alim. Oleh karena itu Ma’rifat ta’limiyat yaitu berjalan
untuk mengenal Allah dari jalan yang biasa “mulai dari bawah hingga keatas”.
Di sisi teori yang lain Ma’rifat ta’limiyat dapat disebut juga dengan Ma’rifat
orang salik Pada mulanya salik mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan, kemudian
mengenal nama-nama-Nya, kemudian mengenal sifat-sifat-Nya dan pada akhirnya
mengenal Dzat Pencipta alam -Allah Azza wa jalla-.Adapun penjelasan mengenai
Ma’rifat terhadap Asma, Sifat, dan Dzat Tuhan, diuraikan dalam 99 Nama-nama
Tuhan, dalam istilah lain disebut asamul al-husna, sebagaimana yang dilontarkan
oleh M. Ali Chasan Umar bahwa asma al-husna adalah Nama-nama Allah yang terbaik
dan yang Agung, yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, yang jumlahnya ada 99
(sembilan puluh sembilan) Nama.
2. Ma’rifat Laduniyah
Ma’rifat
laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan
kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat
yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian
kembali bergantung kepada nama-nama-Nya. Ibnu ‘Atha’illah memberi istilah lain
terhadap Ma’rifat laduniyah dengan sebutan Ma’rifat orang mahjdub. Ma’rifat
orang mahjdub yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang
diberikan secara langsung oleh Tuhan kepada manusia yang ada disisi kesamaannya
dengan ma’rifat.
Lebih jauh, kalangan sufi tersebut
menyatakan bahwa orang yang telah mengenal Allah, juga akan dianugrahi Ilmu
laduni. Ilmu laduni merupakan ilmu yang di ilhamkan oleh Allah Swt. Kepada hati
hamba-Nya tanpa melalui suatu perantara (wasitaha), sebagaimana perantara
yang pada umumnya dibuat untuk memeperoleh ilmu pengetahuan seperti talqin dari
sufi.
Ciri orang yang ma'rifat adalah
laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia tidak takut dan sedih dengan urusan
duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu
cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab,
orang yang ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia.
Susah dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita
harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita semakin
kenal, dekat dan taat kepada Allah.
Salah satu
ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya. Terjaganya ibadah
akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup.
1.Pertama, Hidup
selalu berada di jalan yang benar (on the right track).
2.Kedua, memiliki
kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari terjaganya
keimanan.
3.Ketiga, Allah
akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal
harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa
pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah
gelisah.
4.Keempat, seorang
ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis karena Allah akan menolong dan
mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan seseorang untuk
berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan fisik,
kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan.
5.Kelima, seorang ahli ibadah memiliki kendali dalam hidupnya,
bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Allah
SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ibadah akan
memiliki kemampuan untuk bertobat.
6.Keenam, selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada
poin pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita
akan dituntun untuk melewati jalan tersebut.
7.Ketujuh, seorang ahli ibadah akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran
bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan yang
diambilnya selalu tepat.
a. Adapun cara-cara untuk dapat menuju Mahabbah
dan Ma’rifat adalah :
1. Tobat, baik dari dosa besar maupun dosa kecil
2. Zuhud, yaitu mengasingkan diri dari dunia ramai
3. Wara (sufi), mencoba meninggalkan segala yang di dalamnya
terdapat shubhat
4. Faqir, hidupsebagai orang fakir
5. Sabar, dalammenghadapisegalamacamcobaan
6. Tawakkal, menyerusebulat-bulatnyapadakeputusanTuhan
7. Ridha, merasasenangmenerimasegalatakdir.
F.Hubungan
mahabbah dan Ma’rifah
Mahabbah senantiasa didampingi oleh ma'rifah.
Mababbah dan mari'fah merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama.
Keduanya menggambarkan hubungan rapat antara sufi dan Tuhan. Sebagaimana halnya
dengan mababbah, mari'fah juga terkadang dipandang sebagai maqam terkadang
sebagai hal. Dalam hubungannya dengan maqamat, tentang urutan antara mahabbah
dan ma'rifah terjadi perbedaan. Ada yang mendahulukan mahabbah,
Ada pula yang mengatakan ma'rifah datang
lebih dulu. Sufi yang mendahulukan mahabbah menganggap bahwa mari'fah adalah
maqam yang tertinggi, yang bisa dicapai oleh orang yang telah cinta kepada
Allah. Allah tidak akan membukakan hijab-Nya jika seorang sufi belum
benar-benar cinta kepada-Nya.
Sedangkan sufi yang mengatakan bahwa ma'rifah
itu datangnya lebih dulu dari mahabbah, karena berpandangan bahwa seorang sufi
harus mengenal Tuhan sebelum mencintai-Nya. Orang yang tidak mengenal-Nya tidak
mungkin mencintai-Nya.
Menurut Titus Burckhardt, sebenarnya tidak ada pemisahan sepenuhnya
antara kedua modus rohani ini. Pengetahuan tentang Tuhan melahirkan cinta,
sementara cinta mensyaratkan adanya pengetahuan mengenai objek cinta. Objek
cinta rohani adalah keindahan Tuhan. Dan objek pengetahuan hati sanubari adalah
kebenaran yang sebenarnya tentang Tuhan. Kebenaran dan keindahan itu menjadi
ukuran satu sama lain.
Menurut Harun Nasution menyebutkan bahwa Rabi'ah, dengan pembagian
dua cintanya, telah menggambarkan peralihan dari mahabbah ke ma'rifah. Rasa cinta
yang tulus kepada Tuhan dibalas Tuhan, yaitu terbukanya tabir antara manusia
dengan Tuhan, dan sufi pun melihat Tuhan dengan mata hati.
Tentang
mari'fah, Rabi'ah sendiri pemah berkata: "Buah ilmu rohani adalah agar
engkau palingkan mukamu dari makhiuk agar engkau dapat memusatkan perhatianmu
hanya kepada Allah saja, karena mcl'rifahitu adalah mengenal Allah
sebaik-baiknya."
Ketika Rabi'ah ditanya: "Apakah kau
melihat Tuhan yang kausembah?" Maka ia menjawab: "Jika aku tidak
melihat-Nya, maka aku tidak akan menyembah-Nya. Dari dua pernyataan Rabi'ah di
atas dan dua cinta Rabi'ah, dalam sudut pandang sebagai maqamat, maka
mahabbahberdampingan dengan ma'rifah. Kebersamaan dua maqam ini barangkali akan
lebih mudah dipahami jika kita kaitkan dengan pembagian ma'rifah oleh Dzu alNun
al-Mishri dan
mahabbah
oleh al-Sarraj. Pada keduanya ada pembagian dalam tiga tingkat.
Dzu al-Nun mengkiasifikasikan ma'rifah kepada tiga tingkatan:
a. Mari'fah awam : mengetahui Tuhan dengan perantaraan ucapan
syahadat.
b. Ma'rifah ulama : mengetahui Tuhan dengan logika akal.
c. Ma'rifah sufi : mengetahui Tuhan dengan perantaraan hati.
G.Tujuan Mahabbah dan Ma’rifat
Tujuan Mahabbah yaitu untuk
memperoleh kebutuhan, baik yang bersifat material maupun spiritual untuk
mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak,
yaitu cinta kepada Tuhan,untuk memperoleh kesenangan bathiniahyang sulit
dilukiskan dengan kata-kata,tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Sedangkan
tujuan yang ingin dicapai dalam makrifat adalah mengetahui rahasia-rahasia yang
terdapat dalam diri Tuhan.
C.Kedudukan Mahabbah dan Makrifat
Ada yang berpendapat bahwa istilah Mahabbah selalu berdampingan dengan
Ma’rifat,baik dalam kedudukannya maupun pengertiannya.Kalau Ma’rifat adalah
merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati(al-qalb),maka
Mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta(roh). Smentara
al-Ghozali dalam kitabnya ihya ulumiddin memandang makrifat datang sebelum
mahabbah.Sedangkan al-Kalabasi menjelaskan bahwa makrifat datang sesudah
mahabbah.Selanjutnya ada yang mengatakan bahwa makrifat dan mahabbah merupakan
kembar dua yang selalu disebutkan bebarengan. Keduanya menggambarkan keadaan
dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan.Dengan kata lain mahabbah dan
makrifat menggambarkan dua aspek rapat yang ada antara seorang sufi dengan
Tuhan.
Dalam
literature-literatur tasawuf,tidak ada kesepakatan tentang mahabbah apakah
termasuk hal atau maqam. Dalam hal ini,kalau kita perhatikan kembali
syair-syair dan pernyataan Rabi’ah serta pendapat-pendapat sufi,dapat dipahami
bahwa Mahabbah adalah hal.Sebagaimana halnya dengan mahabbah, makrifat ini
dianggap sebagai hal.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
www.arenakartu.cc
100% Memuaskan ^-^