PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI BANI UAMYYAH.
PERADABAN
ISLAM PADA MASA DINASTI BANI UAMYYAH.
A.
Pendirian Dinasti Bani Umayyah
1.1 Sejarah Berdirinya Dinasti
Bani Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan
Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh
tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah
Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya
sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para
shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi
shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman
bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali
bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut
membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para
shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia
(bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan
ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain,
Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah
keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat
pendukung dari Kuffah[1] ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang
merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus, Syiria,
dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai
sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali
adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu
dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman
yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan
dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang
berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di
Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua
kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin
Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1
Shafar tahun 37 H/657 M[2][3]. Muawiyah
tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian
khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah,
Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan
ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah
Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan
tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru
untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali
bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah
Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi
Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil
menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan
sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti
Kuffah, Bashra dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi
Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan
tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah
bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan
Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman
bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah.
Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang
lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi
Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk
keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada
di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang
tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan
dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang
mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang
patut di curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari
keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun
di antara mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba
memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda
pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah
yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk
adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di
anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir.
Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka
menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para
pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana
yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin
Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas
permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan
posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin
Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat
resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan
kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes
dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka
juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi
dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera
menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi
oleh khalifah Utsman bin Affan semakin
rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa
yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk
kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat
mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti
semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai
gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru
ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah
Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan
pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di
sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak
sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat
peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian
mereka.
1.2 Usaha Muawiyyah Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib
pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661
M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid
Kufah, oleh kelompok khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak
politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia
Ali (Syi’ah). Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para
pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin
Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan
dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada
sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu.
Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian
diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di
hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan
dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu
Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya
sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama
mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali
tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan
persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah untuk mempengaruhi massa
untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak terjadi
permasalahan politik, termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi
oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai
dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada
bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan
Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih
satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian
kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak
mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin
Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali
mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan
syarat antaralain:
- Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
- Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
- Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
- Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
- Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk
memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama
Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada
Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua
syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi
Syama.
Setelah kesepakatan damai ini,
Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda
tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui
bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan
sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas
kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah
dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah
bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya
dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan
Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti
Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali
kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin
dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil
meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi
dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan
pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya
dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan
tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti
baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya
dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa
peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang
menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas
“demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka.
Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari
Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.
Namun perlawanan terhadap bani
Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra kedua
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin
Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah
dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syi’ahyang ada di Irak. Umat islam
Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah,
tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan
dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
B. Pola
Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
Aku tidak akan menggunakan pedang
ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup
dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan
sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya
dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku
akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).
Pernyataan di atas cukup mewakili
sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung
dan seorang negarawan yang mampu membangun
peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti
besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti
Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik
mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya,
politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia
wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan
pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa
sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik
yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung
oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu
kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah
diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan
atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika
Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia
memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi
baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut Dia menyebutnya
“Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.
Karena proses berdirinya
pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya
dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan
mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya,
terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat
mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan
khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya
dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk
putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin
Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa
Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak,
hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem
kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan
kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran
bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi
pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan
Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih
pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani
Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at)
dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini
bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam
yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem
pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain
misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin,
Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara
memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan
Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan
keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz
(717-729 M).
C. Berikut
nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
- Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
- Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
- Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
- Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
- Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
- Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
- Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
- Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
- Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
- Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
- Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
- Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
- Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
- Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)[3][11]
D. Ekspansi Wilayah
Dinasti Bani Umayyah.
Ekspansi yang terhenti pada masa
khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah,Tuniasia
dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan
sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya
melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium, Konstantinopel.ekspansi ke
timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik.
Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan
Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke
India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara
besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan
Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam mersa
hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh
tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah
barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko
dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat
yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat
yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol
dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi
selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul
kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota
Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pada saat itu, pasukan Islam
memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat
setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar bin
Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan
ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau,
Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota
Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping
daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke
tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke
beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani
Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara,
Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis
di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).
E. Perkembangan Pada
Masa Dinasti Bani Umayyah
Dinasti Bani Umayyah
berdiri selama ± 90 tahun (40 – 132 H / 661 – 750 M) dan didirikan oleh
Muariyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah, dengan Damaskus sebagai pusat
pemerintahannya. Dinasti Umayyah sangat bersifat Arab Orientalis, artinya dalam
segala hal dan segala bidang para pejabatnya berasal dari keturunan Arab murni,
begitu pula dengan corak peradabannya. Pada masa dinasti ini banyak kemajuan,
perkembangan, dan perluasan daerah yang dicapai, terlebih pada masa
pemerintahan Khalifah Walid bin Abdul Malik (86 – 96 H / 705 – 715 M).
Pada masa awal
pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan ada usaha memperluas wilayah kekuasaan ke
berbagai daerah, seperti ke India dengan mengutus Muhallab bin Abu Sufrah, dan
usaha perluasan ke Barat ke daerah Byzantium di bawah pimpinan Yazid bin
Muawiyah. Selain itu juga mengerahkan kekuatannya untuk merebut pusat-pusat
kekuasaan di luar jazirah Arab, antara lain kota Konstantinopel.
Al-Usairy menyebut
empat keutamaan Dinasti Umayyah yang dilupakan sejarah:
1.
Muawiyah seorang sahabat mulia. Walau pun melakukan kesalahan ijtihad
politik, yaitu tidak mengakui pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan
khalifah Ali, namun tetap ia berlaku adil karena semua sahabat adil. Marwan bin
Hakam, khalifah keempat Dinasti Umayyah adalah lapisan pertama tabi’in yang
banyak meriwayatkan hadis dari sejumlah sahabat besar. Abdul Malik seorang
ulama besar Madinah, sementara Umar bin Abdul Aziz dianggap sebagai kholifah
kelima khulafaur rasydin. Pernyaan ini ia perkuat dengan sebuah sabda
Rasulullah, “Manusia terbaik adalah manusia yang berada di masaku, kemudian generasi
setelah mereka, lalu generasi setelah mereka.”
2.
Dinasti Umayyah selalu menghormati
kalangan berilmu dan orang-orang yang memiliki sipat-sipat utama.
3.
Dinasti Umayyah melakukan terobosan besar di bidang politik kekuasaan
Negara dengan menguasai negeri dan daerah hingga sampai ke wilayah Cina di
sebelah timur, Andalusia (Spanyol), dan selatan Perancis di sebelah barat.
4.
Dinasti Umayyah sukses menghidupkan
tanah-tanah mati menjadi produktif yang menjadi andalan hidup msyarakat,
membangun infrastruktur yang megah di berbagai daerah kekuasaan.
Pernyataan Al-Usairy
patut kita uji kebenaraannya. Hemat kami, poin ketiga dan kempat bisa dipercaya
karena bukti-bukti sejarah memang ada. Namun untuk poin pertama dan kedua,
tidak ada alasan untuk menyetuji tanpa melakukan kritik. Kalau benar Umayyah
pengikut setia Muhammad, Nabi akan kecewa dengan cara berpolitik yang digunakan
oleh Umawiyah dan sebagaian khalifah-khalifah Dinasti Umayyah lainnya. Oleh
karena itu, keadilan seorang sahabat dengan sendirinya akan hilang karena
dosa-dosa besar yang dilakukannya. Karena selain Nabi tidak ada yang dima’shum,
kecuali dalam tradisi teologi kaum Syiah.
Dalam sejarah Dinasti
Umayyah, mayoritas khalifah-khalifahnya dan para pembantunya tidak menghargai
kalangan berilmu kecuali dari kelompoknya dan yang bisa ditundukan. Ulama-ulama
yang bukan dari kelompok mereka dan yang tidak bisa ditundukan dikejar dan
dibunuh atas perintah raja Dinasti Umayyah.
Oleh karena itu kami
akan merumuskan kemajuan-kemajuan Bani Umayyah, tanpa melihat cara mereka
mewujudkan kemajuan-kemajuan tersebut.
a.
Perluasan wilayah sampai batas-batas terjauh. Wilayah Islam membentang dari
Lautan Atlantik dan Pyreness sampai ke Indus dan perbatasan Cina; dari pantai
Biscay hingga Indus dan daratan Cina, serta dari laut Aral hingga sungai Nil.
Pada masa kejayaan tersebut, terjadi penaklukan Spanyol dan penaklukan kembali
Afrika Utara. Jadi seratus tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad, islam telah
menyentuh wilayah yang sangat luas.
Mengenai kehebatan
ekspansi Dinasti Umayyah ini, Karen Armstrong menulis bahwa kaum muslimin telah
mampu mendirikan imperium mereka di bawah kepemimpinan Dinasti Umayyah.
Imperium ini berkuasa hingga kawasan Asia dan Afrika Utara. Ekspansi itu tidak
saja diilhami oleh agama, tetapi juga oleh semangant imperialisme Arab.
b.
Nasionalisasi atau arabisasi dalam bidang adminitrasi, yaitu diantaranya
dengan mengharuskan menggunakan Bahasa Arab dalam pelayanan administrasi
pemerintahan.
c. Pembentukan enam
lembaga atau departemen di pusat pemerintahan. Yaitu :
1.
Diwan al-Kharaj (Departemen Perpajakan) yang berwenang mengelola seluruh keuangan negara,
termasuk mengumpulkan pendapatan pajak dan membagikannya untuk masyarakat.
2.
Diwan al-Rasa’il (Lembaga
Korespondensi) yang bertugas mengkordinir semua hal yang berkaitan dengan surat
menyurat.
3.
Diwan al-Khatam (Lembaga Pelayanan Stempel) yang berwenang untuk membuat dan memelihara
salinan dari setiap dokumen resmi Negara.
4.
Diwan al-Barid (Lembaga Pelayanan Pos) bertugas untuk menyampaikan berita-berita antara
raja dan para pejabat, termasuk pelayanan untuk memenuhi kebutuhan
mereka.
5.
Diwan al-Qudat (Lembaga Peradilan) yang bertugas memproses dan memutus perkara.
6.
Diwan al-Jund (Angkatan Bersenjata) yang bertugas membentuk angkatan bersenjata dan
mengkordinirnya
d.
Pembangunan dan perbaikan infrastruktur, termasuk pembangunan berbagai
monumen dan masjid-masjid, diantaranya Kubah Batu di Yerusalem dan Masjid
Muawiyah di Damaskus, dan perbaikan Masjid Nabawi di Madinah.
e.
Pembuatan keping mata uang Arab pertama dalam sejarah pemerintahan islam
yang diberlakukan dalam transaksi perdagangan.
F.
Kemunduran Peradaban Islam pada Masa Bani Umayyah
Kemunduran Pada Masa
Bani Umayyah
Ada 7 faktor penyebab
kemunduran kekuasaan Bani Umayyah, yaitu :
- Persoalan suksesi kekhalifahan
- Sikap glamor penguasa
- Perlawanan kaum Khawarij
- Perlawanan dari kelompok Syi’ah
- Meruncingnya pertentangan etnis
- Timbulnya stratifikasi sosial
- Munculnya kekuatan baru
Sedangkan kemunduran
atau bahkan kehancuran peradaban Islam pada masa Bani Umayyah ini oleh karena 2
sebab, yaitu :
1. Hancurnya kekuasaan
Islam di Andalusia dan rendahnya semangat para ahli dalam menggali budaya
IslamKehancuran kekuasaan Islam di Andalusia pada 1492 M berdampak buruk
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Para ahli tidak
banyak memiliki motivasi untuk mengkaji ilmu pengetahuan lagi. Karena mereka
sudah merasa putus asa skibat serangan yang dilakukan oleh para penguasa
Kristen, dan tindakan para penguasa tersebut terhadap peninggalan peradaban
Islam di Andalusia, seperti penghancuran pusat-pusat peradaban Islam dan
sebagainya.
- Banyaknya orang Eropa yang menguasai ilmu pengetahuan dari Islam. Di lembaga-lembaga pendidikan tinggi, tidak hanya orang-orang Islam yang diberikan kesempatan mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi juga kesempatan itu diberikan kepada semua orang, termasuklah orang-orang Kristen Barat yang tertarik untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh umat Islam.
Ketertarikan karena
metode ilmiah Islam, seorang pendeta Kristen Roma anggota Ordo Fransiskan dari
Inggris bernama Roger Bacon (1214 – 1292 M) datang belajar bahasa Arab di Paris
antara tahun 1240 – 1268 M. Melalui kemampuan bahasa Arab dan bahasa Latinnya
itu, ia dapat membaca naskah asli dan terjemahan berbagai ilmu pengetahuan,
terutama ilmu pasti. Buku-buku asli dan terjemahan dibawanya ke Inggris pada
Universitas Oxford, lalu diterjemahkannya dengan menghilangkan nama pengarang
aslinya, yang kemudian dikatakannya sebagai hasil karyanya sendiri. Sejak saat
itulah mulai banyak bermunculan orang Eropa yang menterjemahkan buku-buku yang
dikarang oleh tokoh-tokoh Islam sebagai hasil karyanya sendiri.
G. Peradaban
Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Dinasti Umayyah telah mampu
membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial,
politik, ekonomi dan teknologi. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa
kekuasaan Bani Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara lain:
·
Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan
dinas pos dan tempat-tempat dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan
peralatannya di sepanjang jalan.
·
Menertibkan angkatan bersenjata.
·
Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah
mata uang Byzantium dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai
Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan
Arab.
·
Jabatan khusus bagi seorang Hakim ( Qodli)
menjadi profesi sendiri .
·
Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan
pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya
diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan
keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
·
Membangun panti-panti untuk orang cacat.
Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh
Negara.
·
Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan
suatu daerah dengan daerah lainnya.
·
Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung
pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
·
Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf,
Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut
karena adanya kepentingan orang-orang Luar Arab (Ajam) dalam rangka memahami
sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan Al-sunnah).
·
Pengembangan di ilmu-ilmu agama, karena
dirasa penting bagi penduduk luar jazirah Arab yang sangat memerlukan berbagai penjelasan
secara sistematis ataupun secara kronologis tentang Islam. Diantara ilmu-ilmu
yang berkembang yakni tafsir, hadis, fiqih, Ushul fiqih, Ilmu Kalam dan
Sirah/Tarikh.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan–penjelasan yang
telah disebutkan, maka dapat kita ambil beberapa kesimpulan. Proses
terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan
tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada
saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan
kaum kerabatnya sendiri). Setelah wafatnya Utsman bin Afan maka masyarakat
Madinah mengangkat sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang baru. Dan
masyrakat melakukan sumpah setia ( bai’at ) terhadap Ali pada tanggal 17 Juni
656 M / 18 Djulhijah 35 H.
Dinasti umayyah diambil dari nama
Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis
semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian
berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh
rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh kaum
muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah melakukan
perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan
pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).
Sistem pemerintahan Dinasti Bani
Umayyah diadopsi dari kerangka pemerintahan Persia dan Bizantium, dimana ia
menghapus sistem tradisional yang cenderung pada kesukuan. Pemilihan khalifah
dilakukan dengan sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh
Umayyah ketika menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang
dipimpinnya pada tahun 679 M.
Pada masa kekuasannya yang hampir
satu abad, dinasti ini mencapai banyak kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan
territorial yang mencapai wilayah Afrika Utara, India, dan benua Eropa,
pemisahan kekuasaan, pembagian wilayah kedalam 10 provinsi, kemajuan bidang
administrasi pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan, organisasi keuangan
dan percetakan uang, kemajuan militer yang terdiri dari angkatan darat dan
angkatan laut, organisasi kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni dan
sastra, bidang seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti
Bani Umayyah disebabkan oleh banyak faktor, dinataranya adalah: perebutan
kekuasaan antara keluarga kerajaan, konflik berkepanjagan dengan golongan
oposisi Syi’ah dan Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara dan suku Arab
Selatan, ketidak cakapan para khalifah dalam memimpin pemerintahan dan
kecenderungan mereka yang hidup mewah, penggulingan oleh Bani Abbas yang
didukung penuh oleh Bani Hasyim, kaum Syi’ah, dan golongan Mawali.
Demikianlah isi dari makalah kami,
yang menurut kami telah kami susun
secara sistematis agar pembaca mudah untuk memahaminya. Berbicara mengenai
sejarah, maka sejarah merupakan ilmu yang tidak akan pernah ada habisnya.
Ingatlah, orang yang cerdas adalah orang yang belajar dari sejarah.
Sering kali kita lupa bahwa berkisah
mengenai masa lampau, tapi sejarah begitu penting bagi perjalanan suatu bangsa.
Melalui sejarah, kita belajar untuk menghargai perjuangan para pendahulu kita,
belajar menghargai tetes darah dan keringat mereka untuk apa yang kita nikmati
saat ini. Lewat sejarah kita juga belajar dari pengalaman masa lalu, dan
menjadikannya sebagai modal berharga untuk melangkah di masa depan
Islam merupakan agama yang besar
dengan perjalanan sejarah yang panjang. maka dari itu, marilah kita menggali
lebih jauh lagi ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sejarah Islamiah. Demi
menguatkan keteguhan dan rasa kebanggaan hati kita terhadap agama Islam yang
kita peluk ini.
Komentar
Posting Komentar