mekanisme pasar dalam islam
MAKALAH
Mekanisme Pasar dalam Islam
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Ekonomi Mikro Islam
Dosen Pengampu
:Imahda Khoiri Furqon
DISUSUN
OLEH :
ZulfanisaDamayanti 1602040055
Semester/Kelas: III/D
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
(IAIN) METRO
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah “Mekanisme Pasar
dalam Islam” ini. Shalawat dan salam kami
panjatkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW, yang telah membawa dunia yang terang benderang sampai pada kita sebagai umat-Nya.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas Mata Kuliah Ekonomi Mikro Islam
yang kami sajikan dari berbagai sumber. Dan penuh dengan kesabaran
terutama pertolongan dari Allah SWT.Akhirnya Makalah ini dapat kami selesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari sempurna dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, karna kami
masih dalam tahap pembelajaran. Kami sangat berharap makalah ini bermanfaat
bagi kami pribadi khususnya dan bagi semua pihak pada umumnya.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang
selain bersifat syumuliyah (sempurna) juga harakiyah (dinamis). Disebut
sempurna karena Islam merupakan agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya
dan syari’atnya mengatur seluruh aspek kehidupan, baik yang bersifat aqidah
maupun muamalah. Dalam kaidah tentang muamalah, Islam mengatur segala bentuk
perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya di dunia. Termasuk di dalamnya adalah kaidah Islam yang mengatur tentang
pasar dan mekanismenya.
Pasar adalah tempat dimana
antara penjual dan pembeli bertemu dan melakukan transaksi jual beli barang dan
atau jasa. Pentingnya pasar dalam Islam tidak terlepas dari fungsi pasar
sebagai wadah bagi berlangsungnya kegiatan jual beli. Pentingnya pasar sebagai
wadah aktifitas tempat jual beli tidak hanya dilihat dari fungsinya secara
fisik, namun aturan, norma dan yang terkait dengan masalah pasar. Dengan fungsi
di atas, pasar jadi rentan dengan sejumlah kecurangan dan juga perbuatan
ketidakadilan yang menzalimi pihak lain. Karena peran pasar penting dan juga
rentan dengan hal-hal yang dzalim, maka pasar tidak terlepas dengan sejumlah
aturan syariat. Dalam istilah lain dapat disebut sebagai mekanisme pasar dalam
Islam.
Melihat pentingnya pasar
dalam Islam bahkan menjadi kegiatan yang terakreditasi serta berbagai problem
yang terjadi seputar berjalannya mekanisme pasar dalam Islam, maka pembahasan tentang tema
ini menjadi sangat menarik dan urgen.
Dalam penyusunan makalah ini, kami merumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan Islam dan sistem pasar?
2.
Apa yang dimaksud harga dan pasar persaingan
sempurna dalam pasar islami?
3.
Apa yang dimaksud dengan moral sebagai faktor
endogen dalam persaingan di pasar?
4.
Apa yang dimaksud dengan pengawasan pasar?
5.
Bagaimana mekanisme pasar dalam perspektif
sejarah Islam?
C.
Tujuan Penyusunan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan Islam dan sistem pasar.
2.
Mengetahui apa yang
dimaksud harga dan pasar persaingan sempurna dalam pasar islami.
3.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan moral sebagai faktor endogen dalam
persaingan di pasar.
4.
Mengetahui pengawasan pasar.
5.
Mengetahui mekanisme pasar dalam perspektif
sejarah islam.
BAB II
PEMBAHASAN
MEKANISME
PASAR DALAM ISLAM
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(1988: 651) disebutkan bahwa pasar adalah tempat orang berjual beli. Sedangkan
menurut istilah, Pasar adalah sebuah mekanisme pertukaran barang dan jasa yang
alamiah dan telah berlangsung sejak peradaban awal manusia.[1]Sedangkan menurut kajian ilmu ekonomi, pasar adalah suatu tempat
atau proses interaksi antara permintaan (pembeli) dan penawaran (penjual) dari
suatu barang/jasa tertentu, sehingga akhirnya dapat menetapkan harga
keseimbangan (harga pasar) dan jumlah yang diperdagangkan.[2]
Mekanisme pasar adalah terjadinya
interaksi antara permintaan dan penawaran yang akan menentukan tingkat harga
tertentu. Adanya interaksi tersebut akan mengakibatkan terjadinya proses
transfer barang dan jasa yang dimiliki oleh setiap objek ekonomi
(konsumen, produsen, pemerintah). Dengan kata lain, adanya transaksi pertukaran
yang kemudian disebut sebagai perdagangan adalah satu syarat utama dari
berjalannya mekanisme pasar.[3]
Untuk dapat mengetahui mekanisme pasar
dalam Islam, perlu terlebih dahulu menelisik beberapa subjudul yang telah coba penyusun
paparkan.
A.
Islam dan Sistem Pasar
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن
تَبْتَغُوا فَضْلًا مِّن رَّبِّكُمْ ۚ…
Islam tidak membatasi kaumnya untuk tidak beraktifitas ekonomi dalam kehidupannya.
Islam justru mendukung aktifitas ekonomi karena ia adalah sebagian dari pada berjihad
di jalan Allah. Tersebut dalam Tafsir Al Jalalayn bahwa, ayat 198 ini berkait tentang
perniagaan di musim haji. Ayat ini turun untuk menolak anggapan mereka yang
keliru. Ayat di atas didahului oleh ayat sebelumnya yang membahas tentang haji.
Ayat tersebut,
yakni ayat 197 itu, dalam Tafsir Al Jalalayn disebutkan, diturunkan kepada
penduduk Yaman yang pergi naik haji tanpa membawa bekal, sehingga mereka
menjadi beban bagi orang lain. Maka,
kata Allah, “Dan berbekallah kamu,” bekal yang akan menyampaikan kamu ketujuan perjalananmu.
“Dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa,” yang dipergunakan manusia untuk
menjaga dirinya agar tidak menjadi beban bagi orang lain dan sebagainya.
Selain
itu, ke-syumulan Islam memang sudah dijamin oleh Allah Subhanahuwata`aala
dalam Alquran Al Kariim pada surah Al Maidah ayat 3 yang sudah diketahui
bersama.“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu…”.[5]
Islam sudah
mengatur masalah ekonomi semenjak Islam itu diturunkan melalui nabi Muhammad
SAW. Karena rujukan utama pemikiran ekonomi Islam adalah al-Qur'an dan
al-Hadits. Termasuk didalamnya adalah masalah pasar.[6]
Pasar mempunyai peran yang besar dalam ekonomi. Karena kemaslahatan manusia
dalam mata pencaharian tidak mungkin terwujud tanpa adanya saling tukar menukar.
Pasar adalah tempat yang mempunyai aturan yang disiapkan untuk tukar menukar hak
milik dan menukar barang antara produsen dan konsumen. Di pasar orang bisa mendapatkan
kebutuhannya dan tidak ada orang yang tidak memerlukan pasar.[7]Aturan-aturan
itu yang selanjutnya dapat dikatakan sebagai sistem pasar.
B. Harga dan Pasar Persaingan Sempurna dalam Pasar
Islami
Harga diartikan sebagai sejumlah uang yang
menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu.[8] Sedangkan pasar persaingan sempurna adalah suatu bentuk interaksi antara
permintaan dengan penawaran dimana jumlah pembeli dan penjual sedemikian rupa banyaknya/
tidak terbatas.[9]
Oleh Karena prinsip-prinsip berikut ini, pasar persaingan sempurna muncul:
a.
Tidak ada satu
penjual tunggal yang mempunyai sumber cukup banyak untuk dapat mempengaruhi harganya
di pasar
b.
Sumber
variable mempunyai mobilitas yang tinggi untuk berbagai harga pasar dan penggunaannya
relative fleksible.
Karena dua prinsip tersebut di atas maka pada pasar persaingan sempurna akan
dipenuhi dengan adanya syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Jumlah perusahaan
dalam pasar sangat banyak sehingga dengan jumlah produsen yang banyak tersebut menjadikan
volume produksi sebuah perusahaan hanya bagian kecil dari total volume produksi
atau transaksi pasar, sehingga dengan kata lain secara individual tidak bisa mempengaruhi
harga pasar atau baik produsen maupun konsumen bertindak sebagai Price Taker
(penerima harga).
2.
Produk
homogeny atau produk/barang yang diperdagangkan serba sama (homogen) jenis
maupun kualitasnya.
3.
Setiap produsen
atau konsumen tahu informasi pasar (simetris information)
4.
Tidak ada hambatan
untuk keluar/masuk bagi setiap penjual.
5.
Pemerintah
tidak campur tangan dalam proses pembentukan harga.
6.
Penjual atau
produsen hanya berperan sebagai price taker (pengambil harga). Tidak terdapat perubahan
harga berapapun jumlah barang yang diminta oleh konsumen atau ditawarkan oleh produsen.
7.
Untuk mencapai
keuntungan maksimum pada suatu perusahaan adalah dengan melihat besar volume
output yang dihasilkan.
Struktur pasar menggambarkan tingkat persaingan di suatu pasar barang atau
jasa tertentu. Suatu pasar terdiri dari seluruh perusahaan dan individu yang
ingin dan mampu untuk membeli serta menjual suatu produk tertentu. Atau dalam redaksi
lain, pasar terbentuk dari produsen-produsen kecil dan konsumen-konsumen kecil dalam
jumlah tidak tertentu. Sistem ini melahirkan persaingan antar produsen dalam menawarkan
produknya kepada para konsumen atau pelanggannya.[10]
Pasar persaingan sempurna adalah struktur pasar yang dicirikan oleh jumlah
pembeli dan penjual yang sangat banyak. Pasar monopoli adalah struktur pasar
yang dicirikan oleh adanya seorang produsen tunggal. Pasar persaingan
monopolistic adalah struktur pasar yang sangat mirip dengan pasar persaingan sempurna.
Tetapi konsumen di sini mengetahui perbedaan-perbedaan produk-produk yang
dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang berbeda.[11]
Konsep Islam memahami bahwa pasar
dapat berperan efektif dalam kehidupan ekonomi bila prinsip persaingan bebas
dapat berlaku secara efektif. Pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari
pihak manapun, tak terkecuali negara dengan otoritas penentuan harga atau
private sektor dengan kegiatan monopolistik ataupun lainnya.
Karena pada dasarnya pasar tidak
membutuhkan kekuasaan yang besar untuk menentukan apa yang harus dikonsumsi dan
diproduksi. Sebaliknya, biarkan tiap individu dibebaskan untuk memilih sendiri
apa yang dibutuhkan dan bagaimana memenuhinya. Inilah pola normal dari pasar
atau keteraturan alami dalam istilah Al – Ghazali berkait dengan ilustrasi dari
evolusi pasar. Selanjutnya, Adam Smith menyatakan serahkan saja pada invisible
hand, dan dunia akan teratur dengan sendirinya. Dasar keputusan dari para
pelaku ekonomi adalah voluntary, sehingga otoritas dan komando tidak lagi
terlalu diperlukan. Biaya untuk mempertahankan otoritas pun diminimalkan.
Dari pemahaman itu, harga sebuah
komoditas (barang dan jasa) ditentukan oleh penawaran dan permintaan, perubahan
yang terjadi pada harga berlaku juga ditentukan oleh terjadinya perubahan
permintaan dan perubahan penawaran. Hal ini sesuai dengan hadis yang
diriwayatkan dari Anas bahwasanya suatu hari terjadi kenaikan harga yang luar
biasa pada masa Rasulullah SAW, maka sahabat meminta nabi untuk menentukan
harga pada saat itu, lalu nabi bersabda : Artinya, “Bahwa Allah adalah Dzat
yang mencabut dan memberi sesuatu, Dzat yang memberi rezeki dan penentu harga”
(HR. Abu Daud).
Dari hadis itu dapat disimpulkan
bahwa pada waktu terjadi kenaikan harga Rasulullah SAW meyakini adanya penyebab
tertentu yang sifatnya darurat. Oleh sebab itu, sesuatu yang bersifat darurat
akan hilang seiring dengan hilangnya penyebab dari keadaan itu. Dilain pihak
rasul juga meyakini bahwa harga akan kembali normal dalam waktu yang tidak
terlalu lama (sifat darurat). Penetapan harga menurut rasul merupakan suatu tindakan
yang menzalimi kepentingan para pedagang, karena para pedagang di pasar akan
merasa terpaksa untuk menjual barangnya sesuai dengan harga patokan, yang
tentunya tidak sesuai dengan keridhaannya (Ahmad Nu’man : 1985).
Dengan demikian, pemerintah tidak
memiliki wewenang untuk melakukan intervensi terhadap harga pasar dalam kondisi
normal. Ibnu Taimiyah mengatakan jika masyarakat melakukan transaksi jual beli
dalam kondisi normal tanpa ada bentuk distorsi atau penganiayaan apa pun dan
terjadi perubahan harga karena sedikitnya penawaran atau banyaknya permintaan,
maka ini merupakan kehendak Allah (Atiyah As – Sayyid Fayyadh : 1997).
Harus diyakini nilai konsep Islam
tidak memberikan ruang intervensi dari pihak mana pun untuk menentukan harga,
kecuali dan hanya kecuali adanya kondisi darurat yang kemudian menutup pihak –
pihak tertentu untuk ambil bagian menentukan harga.
Adapun pasar mempertemukan pelaku usaha yang ingin menjual barang dan jasa
dengan para konsumen, sebagai pemakai dan pengguna barang dan jasa. Akibatnya kepentingan
satu sama lain, maka dengan sendirinya terjadi tawar menawar (harga kesepakatan).
Dalam undang-undang No. 5 tahun 1999 dijelaskan, bahwa harga pasar adalah harga
yang dibayar dalam transaksi barang dan jasa sesuai kesepakatan antara penjual dan
pembeli.[12]
Kepentingan yang berbeda antara pelaku usaha dan konsumen menuntut adany
asistem harga yang adil. Konsep harga yang adil sebenarnya telah menjadi bagian
penting dari pemikiran ekonomi Barat abad pertengahan.[13]Bahkan
dalam sejarah ekonomi kuno, pemikiran tentang regulasi harga terjamin dan keadilan
serta hukum dalam jual beli telah ada pada beberapa bangsa kuno.[14]
Dalam sejarah Islam, harga yang adil telah dipraktekkan oleh Rasulullah dan
masyarakat Madinah di berbagai bidang. Misalnya dalam kasus seorang majikan
yang memerdekakan budaknya, maka majikan itu tetap mendapatkan kompensasi yang
adil. Menegakkan sistem harga yang adil bagi Rasulullah merupakan perintah Alquran,
yang selalu mementingkan dan mengedepankan tegaknya keadilan di berbagai bidang,
termasuk kegiatan ekonomi.
Ibnu Taimiyah, ketika menjelaskan harga yang adil selalu menghubungkan dengan
dua hal: pertama, kompensasi setara dan, kedua harga setara. Kompensasi setara menurut
Ibnu Taimiyah diukur sesuai dengan kuantitas dari obyek khusus yang digunakan secara
umum. Kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran suatu barang dengan
barang lain yang setara. Sedangkan harga setara adalah harga yang diperoleh melalui
kekuatan pasar yang berjalan secara bebas antara permintaan dan penawaran.[15]
Dengan demikian, harga yang adil akan terwujud bila pasar berjalan sesuai
dengan mekanismenya. Artinya, tingkat harga yang berlaku di pasar benar-benar berasal
dari kekuatan penawaran dan permintaan.
C.
Moral
sebagai Faktor Endogen dalam Persaingan di Pasar
Agar pasar dapat berperan
secara normal (alamiah) dan terjamin keberlangsungannya, di mana struktur dan
mekanismenya dapat terhindar dari perilaku–perilaku negatif para pelaku pasar,
maka ajaran Islam juga menawarkan satu paket aturan moral berbasis hukum syariah
yang melindungi setiap kepentingan pelaku pasar. Aturan tersebut adalah sebagai
berikut :
1.
Spiritualisme transaksi perdagangan
Islam mengenal adanya nilai –
nilai spiritualisme pada setiap materi yang dimiliki, yang menjadi sentral dari
konsep moralnya adalah semua barang milik Allah SWT dan bagaimana melakukan
transaksi perdagangan yang sesuai dengan aturan main syariah.
Islam memberikan ajaran kapan
seorang muslim dapat melakukan transaksi, bagaimana mekanisme transaksi
dan komoditas barang maupun jasa apa saja yang dapatdiperjualbelikan di
pasar muslim. Islam mengatur bagaimana seorang pedagang dapat mengharmonisasikan aktivitas
perdagangan dengan kewajiban beribadah. Dimana secara umum ajaran Islam
tidak memperkenalkan jika aktivitas bisnis dan perdagangan dapat melupakan
kita kepadakehadiratAllah SWT. Kemudian secara khusus Islam tidak
memperkenankan aktivitas pasar berlaku pada saat masuk waktu shalat jumat.
2.
Aspek hukum dalam mekanisme transaksi perdagangan.
Konsep halal dan haram
sangatlah jelas dalam mekanisme bisnis dan transaksi di pasar. Mekanisme suka
sama suka adalah panduan dan garis Al – qur’an dalam melakukan kontrol terhadap
perniagaan yang dilakukan. Teknik sistem dan aturan main tentang tercapainya
tujuan ayat tersebut menjadi ruang ijtihad bagi pakar muslim dalam
menerjemahkan konsep dan implementasinya pada konteks pasar modern saat ini.
Selain itu, terdapat sejumlah
ayat maupun hadis nabi yangmemberikan batasan mekanismemana saja yang secara
khusus dan secara jelas dilarang, sehingga transaksi muamalah
yang dilakukan oleh manusia dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka dan
bukan menjadimalapetaka. Prinsipnya, semua yang dilarang itu berarti haram dan
jika masihdikerjakan itu berdosa.
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”(Qs: Annisa’ 29)
D.
Pengawasan Pasar.
Islam mengatur dan mengawasi
pasar secara ketat. Salah satu lembaga yang semestinya dibentuk untuk mengawasi
pasar menurut Islam adalah Hisbah. Meskipun demikian sebenarnya pengawasan
dapat dilakukan oleh semua orang sebagaimana sabda Rosulullah SAW tentang
perintah untuk menindak kemungkaran. Terkait dengan mencegah terjadinya
kemungkaran ini salah satu wewenang lembaga hisbah adalah pencegahan penipuan
di pasar, seperti masalah kecurangan dalam timbangan, ukuran maupun pencegahan
penjualan barang yang rusak serta tindakan-tindakan yang merusak moral.
Landasan Hisbah sebagaimana
diterapkan oleh Rosulullah adalah hadis yang menceritakan ketika Rosulullah
melakukan inspeksi pasar dan menemukan pelanggaran di pasar karena meletakkan
kurma yang basah di bawah di atas tumpukan kurma kering, sehingga dapat
menutupi informasi bagi pembeli tentang kualitas kurma. Dari itu kemudian
Rosulullah menegaskan bahwa praktek yang demikian adalah dilarang dalam Islam.
Sementara dalam Al Qur’an dapat kita lihat pada Surat Ali Imran ayat 104;
“Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”[16]
E.
Mekanisme Pasar dalam Perspektif Sejarah Islam
1)
Masa Rasulullah
Dalam ekonomi Islam, hal-hal yang tetap dalam harga yang
sama ditentukan oleh operasi bebas kekuatan pasar. Nabi Muhammad SAW tidak
menganjurkan campur tangan apa pun dalam proses penetuan harga oleh negara atau
individual. Di samping menolak untuk mengambil aksi langsung apa pun, beliau
melarang praktek-praktek bisnis yang dapat membawa kepada kekurangan pasar.
Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW menghapuskan pengaruh kekuatan ekonomi atas
mekanisme harga.
Dalam hal penentuan harga, pada masa pemerintahan Nabi
Muhammad SAW ditentukan melalui mekanisme pasar. Diriwayatkan dari Anas bahwa
ia mengatakan harga pernah mendadak naik pada masa Rasulullah SAW. Para sahabat
mengatakan: “Wahai Rasulullah, tentukanlah harga (ta’sir) untuk kita. Beliau
menjawab: “Allah SWT itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan dan
pencurah serta pemberi rizki. Aku mengharap dapat menemui Tuhanku dimana salah
satu diantara kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan
harta”.
Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW melarang
adanya intervensi harga dari siapapun juga. Praktek-praktek dalam
mengintervensi harga adalah perbuatan yang terlarang.
Selain melarang adanya intervensi harga, ada beberapa
larangan yang diberlakukan Rasulullah SAW untuk menjaga agar seseorang tidak
dapat melambungkan harga seenaknya seperti larangan menukar kualitas mutu
barang dengan kualitas rendah dengan harga yang sama serta mengurangi timbangan
barang dagangan. Beberapa larangan lainnya adalah:
a.
Larangan Najsy
Najsy adalah sebuah praktek dagang
dimana seorang penjual menyuruh orang lain untuk memuji barang dagangannya atau
menawar dengan harga yang tinggi calon pembeli yang lain tertarik untuk membeli
barang dagangannya. Najsy dilarang karena dapat menaikkan harga barang-barang
yang dibutuhkan oleh para pembeli. Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu
sekalian melakukan penawaran terhadap barang tanpa bermaksud untuk membeli.[17]
b.
Larangan Bay‘ Ba’dh ‘Ala Ba’dh
Praktek bisnis ini adalah dengan
melakukan lompatan atau penurunan harga oleh seorang dimana kedua belah pihak
yang terlibat tawar menawar masih dalam tahap negosiasi atau baru akan
menyelesaikan penetapan harga. Rasulullah melarang praktek semacam ini karena
hanya akan menimbulkan kenaikan harga yang tidak diinginkan.
c. Larangan Tallaqi Al-Rukban
Praktek ini adalah dengan cara
mencegat orang-orang yang membawa barang dari desa dan membeli barang tersebut
sebelum tiba di pasar. Rasulullah melarang praktek semacam ini dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya kenaikan harga. Beliau memerintahkan agar
barang-barang langsung dibawa ke pasar, sehingga penyuplai barang dan para
konsumen bisa mengambil manfaat dari harga yang sesuai dan alami.
d.
Larangan Ihtinaz dan Ihtikar.
Ihtinaz adalah praktek penimbunan
harta seperti emas, perak dan lain sebagainya. Sedangkan ihtikar adalah
penimbunan barang-barang seprti makanan dan kebutuhan sehari-hari. Penimbunan
barang dan pencegahan peredarannya sangat dilarang dan dicela dalam Islam
seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 34-35 yang
artinya:“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan dari
pendeta-pendeta memakan harta manusia dengan cara yang bathil dan mereka
menghalangi dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukan kepada mereka akan azab
yang pedih. Pada hari itu dipanaskan dalam neraka jahanam, lalu dibakar
dengannya dahi, rusuk dan punggung mereka dan dikatakan (kepada mereka). Inilah
harta benda yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (balasan)
dari apa yang kamu simpan dahulu itu.”[18]
Dari ayat di atas dapat dilihat
bahwa praktek penimbunan baik yang berbentuk uang tunai maupun barang sangatlah
bertentangan dengan ajaran Islam. Bahaya dari praktek ihtikar dapat menyebabkan
kelangkaan barang di pasar sehingga harga barang menjadi naik.
2)
Masa Khulafaurrasyidin
Khalifah pertama yang ditunjuk untuk memegang tampuk
pemerintahan setelah Rasulullah SAW wafat adalah Abu bakar As-Siddiq. Tidak
banyak diketahui kebijakan-kebijakan baru mengenai harga yang dibuat oleh Abu
Bakar. Namun demikian sebagai seorang fukaha yang berprofesi sebagai seorang
pedagang, Abu Bakar menjalankan praktek perdagangan secara syariah termasuk
masalah kebijakan tentang harga yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
Rasulullah SAW.
Setelah Abu Bakar wafat, tampuk pemerintahan dipegang oleh
Umar bin Khattab. Selama sepuluh tahun pemerintahannya, Umar bin Khattab
benar-benar menerapkan ekonomi syariah yang bersumber kepada Al-Qur’an dan
Hadits. Hal ini dapat dilihat dari peringatan keras Umar bin Khattab terhadap
segala praktek penimbunan barang-barang yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Beliau tidak memperbolehkan seorang pun dari kaum muslimin untuk membeli barang
sebanyak-banyaknya dengan niatan untuk ditimbun.
Umar bin Khattab mengadakan dan menjalankan hisbah yang
telah dirintis sejak zaman Rasulullah SAW. Selain itu, beliau juga mengambil
inisiatif untuk melakukan operasi pasar pada saat terjadi kelaparan yang dasyat
di Medinah.
Khalifah ketiga adalah Ustman bin Affan. Sebagai seorang
fukaha, beliau mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap penegakan hukum
termasuk hukum tentang ekonomi yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW dan
khalifah-khalifah sebelumnya. Dalam hal kebijakan harga, beliau tidak
menyerahkan penentuan harga ke tangan pengusaha.
Utsman bin Affan selalu berusaha untuk tetap mendapatkan informasi tentang situasi harga bahkan harga barang yang sulit dijangkau. Jika beliau mengetahui ada pedagang-pedagang yang ingin menimbun makanan atau menjualnya dengan harga yang mahal, maka beliau akan mengirimkan kafilah-kafilah untuk mengambil bahan makanan tersebut dengan tujuan untuk merusak praktek penimbunan dan permainan harga yang akan dilakukan oleh para pedagang tersebut. Hal-hal yang dilakukan oleh khalifah merupakan suatu upaya preventif yang dilakukan untuk mengontrol harga agar tidak menjadi beban bagi masyarakat dan menghindari adanya distorsi harga.
Utsman bin Affan selalu berusaha untuk tetap mendapatkan informasi tentang situasi harga bahkan harga barang yang sulit dijangkau. Jika beliau mengetahui ada pedagang-pedagang yang ingin menimbun makanan atau menjualnya dengan harga yang mahal, maka beliau akan mengirimkan kafilah-kafilah untuk mengambil bahan makanan tersebut dengan tujuan untuk merusak praktek penimbunan dan permainan harga yang akan dilakukan oleh para pedagang tersebut. Hal-hal yang dilakukan oleh khalifah merupakan suatu upaya preventif yang dilakukan untuk mengontrol harga agar tidak menjadi beban bagi masyarakat dan menghindari adanya distorsi harga.
Setelah kepemimpinan Utsman bin Affan, tampuk kekhalifahan
diduduki oleh Ali bin Abi Thalib. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib,
kaum muslimin secara resmi mencetak uang sendiri dengan menggunakan nama
pemerintahan Islam. Ketika mata uang masih diimpor, kaum muslimin hanya
mengontrol kualitas uang impor. Namun setelah mencetak uang sendiri, kaum
muslimin secara langsung mengawasi penawaran yang ada.
3) MasaBani Umayyah
Mulai pada masa pemerintahan Daulah Umayyah ditemukan banyak
buku-buku yang ditulis para fukaha (jurist), sufis dan philosophers yang
menunjukkan berkembangnya peradaban Islam. Buku-buku yang mereka tulis
sebenarnya bersifat komprehensif dan tidak secara khusus membahas tentang sitem
ekonomi. Walaupun demikian, beberapa orang diantara para fukaha tersebut
memberikan kontribusi bagi sistem ekonomi Islam dan Abu Yusuf merupakan salah
satu diantaranya.
Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M) hidup semasa pemerintahan
khalifah Bani Umayyah mulai dari Khalifah Hisyam (105 H/742 M). Beliau
merupakan fukaha pertama yang secara eksklusif menekuni masalah tentang
kebijaksanaan ekonomi. Salah satu diantaranya adalah beliau memperhatikan
peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga.
Pemahaman masyarakat pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan
antara harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva permintaan saja dimana
pada saat barang yang tersedia sedikit maka harga barang tersebut akan menjadi
mahal dan sebaliknya, bila barang yang tersedia banyak maka harga barang
tersebut akan menjadi turun atau murah.
Pemahaman masyarakat itu kemudian dibantah oleh Abu Yusuf dan menyatakan sebagai berikut, karena pada kenyatannya terkadang pada saat persediaan barang hanya sedikit tidak membuat harga barang tersebut menjadi naik/mahal. Sebaliknya, pada saat persediaan barang melimpah, harga barang tersebut belum tentu menjadi murah. Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa Abu Yusuf menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara persedian barang (supply) dan harga. Karena pada kenyataannya harga tidak bergantung kepada permintaan saja tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran. Oleh karena itu, peningkatan-penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan-penurunan permintaan ataupun penurunan- peningkatan dalam produksi.
Pemahaman masyarakat itu kemudian dibantah oleh Abu Yusuf dan menyatakan sebagai berikut, karena pada kenyatannya terkadang pada saat persediaan barang hanya sedikit tidak membuat harga barang tersebut menjadi naik/mahal. Sebaliknya, pada saat persediaan barang melimpah, harga barang tersebut belum tentu menjadi murah. Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa Abu Yusuf menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara persedian barang (supply) dan harga. Karena pada kenyataannya harga tidak bergantung kepada permintaan saja tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran. Oleh karena itu, peningkatan-penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan-penurunan permintaan ataupun penurunan- peningkatan dalam produksi.
Abu Yusuf mengatakan bahwa tidak ada batasan tertentu
tentang murah ataupun mahal. Harga barang/makanan murah bukan dikarenakan
melimpahnya jumlah barang atau makanan. Begitu pula, mahalnya harga barang atau
makanan tidak disebabkan karena kelangkaan jumlah barang atau makanan. Murah
dan mahal harga suatu barang merupakan ketentuan Allah.
Abu Yusuf menegaskan bahwa ada beberapa variabel lain yang
mempengaruhi naik turunnya harga barang atau makanan, tetapi dia tidak
menjelaskan lebih rinci variabel tersebut. Namun demikian, pernyataan Abu Yusuf
tersebut tidak menyangkal pengaruh permintaan dan penawaran dalam penentuan
suatu harga.
4)
Dinasti Abasiyyah I
a.
Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M)
Imam Hambali adalah imam dari mazhab
ke-4 yang terbesar. Beberapa hal yang dibahas secara rinci oleh beliau adalah
mengenai mashlahah, tujuan syariah dan kebebasan menerima cara-cara untuk
mencapai tujuan syariah tersebut.
Salah satu pandangan Imam Hambali
adalah pendekatan Islami untuk memelihara persaingan yang adil di pasar. Imam
Hambali mencela pembelian dari seorang penjual yang menurunkan harga barang
untuk mencegah orang membeli barang yang sama dari saingannya. Alasan beliau
adalah jika penurunan harga barang seperti ini dibiarkan, maka akan menempatkan
penjual yang menurunkan harga tersebut pada posisi monopoli yang akhirnya dapat
mendikte harga semaunya. Imam Hambali menghendaki campur tangan dalam kasus
seperti ini untuk mencegah terjadinya monopoli.
b.
Imam
Al-Ghazali (451-505 H / 1055-1111 M)
Al-Gahzali hidup semasa khalifah
Al-Qa’im (422 H/1031 M) sampai khalifah Al-Mustazhhir (487 H/1094 M).
Al-Ghazali mengutuk penimbunan uang dengan alasan bahwa uang dirancang untuk
memudahkan pertukaran dan praktek penimbunan uang dapat menghalangi proses
pertukaran tersebut.
Sumbangan Al-Ghazali terhadap ilmu
ekonomi adalah beliau telah berhasil menyajikan penjabaran yang rinci tentang
peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai
dengan kekuatan permintaan dan penawaran. Bagi Al-Ghazali, pasar merupakan
bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci ia juga menerangkan bagaimana
evolusi terciptanya pasar, yaitu:
Dapat saja petani hidup ditempat
alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu
hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun secara alamiah,mereka akan saling
memenuhi kebutuhan masing -masing.dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan
makanan.tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau
sebaliknya.keadaan ini menimbulkan masalah.oleh karena itu,secara alami pula
orang akan akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat disatu
pihak dan tempat penyimpanan hasil pertanian diphak lain. Tempat inilah yang
kemudian didatangi oleh pembeli sesuai kebutuhannya masing masing sehingga
terbentuklah pasar.petani,tukang kayu,dan pandai besi yang tidak dapat langsung
melakukan barter,juga terdorong pergi kepasar ini.bila dipasar juga tidak
ditemukan orang yang mau melakukan barter,ia akan menjual pada pedagang dengan
harga yang relative murah untuk kemudian disimpan sebagai persedian.pedagang
kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuantung.hal ini berlaku untuk setiap
jenis barang.
Al-Gahazali tidak menolak kenyataan
bahwa labalah yang menjadi motif perdagangan. Pada saat lain, ia menjabarkan
pentingnya peran pemerintah dalam menjamin keamanan jalur perdagangan demi
kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekononomi.
Walaupun Al-Ghazali tidak
menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern, beberapa
paragraf dalam tulisannya jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan
permintaan. Kurva penawaran yang “naik dari kiri bawah ke kanan atas”
dinyatakannya sebagai “jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya maka
ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah.
5) Dinasti Abasiyyah II
a.
Ibnu Taimiyyah (661-728 H / 1263-1328 M)
Ibnu Taimiyyah hidup semasa Daulah abbasiyah II yang
berkedudukan di Kairo mulai dari Khalifah Al-Hakim I (660 H / 1262 M) sampai
khalifah Al-Mustakfi I (701 H / 1302 M). ibnu Taimiyyah mendiskusikan
norma-norma Islami untuk perilaku ekonomi individual dan lebih banyak
memberikan perhatian kepada masalah-masalah kemasyarakatan seperti perjanjian
dan upaya mentaatinya, harga-harga, pengawasan pasar dan lain sebagainya.
Masyarakat pada masa Ibnu Taimiyyah beranggapan bahwa
peningkatan harga merupakan akibat dari ketidakadilan dan tindakan melanggar
hukum dari pihak penjual atau mungkin sebagai akibat manipulasi pasar. Anggapan
ini dibantah oleh Ibnu Taimiyyah.dengan tegas. Beliau cenderung mendukung ilmu
ekonomi positif dimana harga ditentukan berdasarkan permintaan dan penawaran.
Ibnu taimiyyah menyatakan bahwa naik dan turunnya harga
tidak selalu disebabkan oleh tindakan tidak adil dari sebagian orang yang
terlibat transaksi, tapi bisa jadi penyebabnya adalah supply yang menurun
akibat produksi yang tidak efisien, penurunan jumlah impor barang-barang yang
diminta atau juga tekanan pasar. Karena itu, jika permintaan terhadap barang
meningkat, sedangkan penawaran menurun maka harga barang tersebut akan naik.
Begitu pula sebaliknya, kelangkaan dan melimpahnya barang mungkin disebabkan
oleh tindakan yang adil atau mungkin tindakan yang tidak adil.
Penawaran bisa datang dari produksi domestik dan impor.
Perubahan dalam penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam
jumlah barang yang ditawarkan, sedangkan permintaan sangat ditentukan oleh
selera dan pendapatan. Besar kecilnya kenaikan harga bergantung pada besarnya
perubahan penawaran dan atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai
aturan, maka kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Allah SWT.
Dibedakan pula dua faktor penyebab pergeseran kurva
penawaran dan permintaan,yaitu tekanan pasar yang otomatis dan perbuatan
melanggar hukum dari penjual, misalnya penimbunan. Faktor lain yang
mempengaruhi permintaan dan penawaran antara lain adalah intensitas dan
besarnya permintaan, kelangkaan ataupun melimpahnya barang, kondisi
kepercayaan, serta diskonto dari pembayaran tunai.
Permintaan terhadap barang acapkali berubah. Perubahan
tersebut bergantung pada jumlah penawaran, jumlah orang yang menginginkannya,
kuat-lemahnya dan besar-kecilnya kebutuhan seseorang terhadap barang tersebut.
Bila penafsiran ini benar, Ibnu Taimiyyah telah mengasosiasikan harga tinggi
dengan intensitas kebutuhan sebagaimana kepentingan relatif barang terhadap
total kebutuhan pembeli. Bila kebutuhan kuat dan besar, harga akan
naik.demikian pula sebaliknya.
Menarik untuk dicatat bahwa tampaknya Ibnu Taimiyyah
mendukung kebebasan untuk keluar-masuk pasar. Beliau juga mengkritik adanya
kolusi antara pemebli dan penjual, menyokong homogenitas dan standarisasi
produk dan melarang pemalsuan produk serta penipuan pengemasan produk yang
dijual.
Selain itu, Ibnu Taimiyyah menentang peraturan yang
berlebihan ketika kekuatan pasar secara bebas bekerja untuk menentukan harga
yang kompetitif. Dengan tetap meperhatikan pasar yang tidak sempurna, ia
merekomendasikan bahwa bila penjual melakukan penimbunan dan menjual pada harga
yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga normal padahal orang-orang
membutuhkan barang-barang ini, maka para penjual diharuskan menjualnya pada
tingkat harga ekuivalen dan secara kebetulan konsep ini bersamaan artinya
dengan apa yang disebut sebagai harga yang adil. Selanjutnya, bila ada
elemen-elemen monopoli (khususnya dalam pasar bahan makanan dan kebutuhan pokok
lainnya), pemerintah harus turun tangan melarang kekuatan monopoli.
b.
Ibnu Khaldun (732-808 h / 1332-1404 M)
Ibnu Khaldun hidup pada masa pemerintahan Khalifah
Al-Mustakfi sampai Khalifah Al-Musta’in. Pemikirannya dituangkan dalam kitabnya
yang berjudul Muqaddimah. Dalam bukunya tersebut, Ibnu Khaldun menjelaskan
mekanisme permintaan dan penawaran dalam menentukan harga keseimbangan. Secara
lebih rinci ia menjabarkan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk
mendapatkan barang pada sisi permintaan. Selanjutnya ia menjelaskan pula pengaruh
meningkatnya biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain pada sisi
penawaran tersebut. Ia mengatakan bahwa bea cukai biasa dan bea cukai lainnya
dipungut atas bahan makanan di pasar-pasar dan di pintu-pintu kota demi raja,
dan para pengumpul pajak menarik keuntungan dari transaksi bisnis untuk
kepentingan mereka sendiri. Karenanya, harga dikota lebih tinggi daripada di
padang pasir.
Pada bagian lain bukunya, Ibnu Khaldun menjelaskan pengaruh
naik dan turunnya penawaran terhadap harga. Ia mengatakan bahwa ketika
barang-barang yang tersedia sedikit, maka harga-harga dari barang tersebut akan
naik. Namun, bila jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan,
maka akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan berlimpah
sehingga harga-harga pun akan turun.
Ketika menyinggung masalah laba, Ibnu Khaldun menyatakan
bahwa keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan. Sebaliknya,
keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan dikarenakan
pedagang kehilangan motivasi. Demikian pula dengan sebab yang berbeda,
keuntungan yang sangat tinggi akan melesukan perdagangan karena permintaan
konsumen akan melemah.
Ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara, dan individu
berada dalam keseimbangan (iqtishad), tidak boleh ada sub-ordinat,
sehingga salah satunya menjadi dominan dari yang lain. Pasar dijamin
kebebasannya dalam Islam. Pasar bebas menentukan cara-cara produksi dan harga,
tidak boleh ada gangguan yang mengakibatkan rusaknya keseimbangan pasar. Namun dalam
kenyataannya sulit ditemukan pasar yang berjalan sendiri secara adil (fair).
Distorasi pasar tetap sering terjadi, sehingga dapat merugikan para pihak.
Pasar yang dibiarkan berjalan sendiri (laissez faire),
tanpa ada yang mengontrol, ternyata telah menyebabkan penguasaan pasar sepihak
oleh pemilik modal (capitalist) penguasa infrastruktur dan pemilik
informasi. Asymetrik informasi juga menjadi permasalahan yang tidak
bisa diselesaikan oleh pasar. Negara dalam Islam mempunyai peran yang sama
dengan dengan pasar, tugasnya adalah
mengatur dan mengawasi ekonomi,
memastikan kompetisi di pasar berlangsung dengan sempurna, informasi yang
merata dan keadilan ekonomi. Perannya sebagai pengatur tidak lantas
menjadikannya dominan, sebab negara, sekali-kali tidak boleh mengganggu pasar
yang berjalan seimbang, perannya hanya diperlukan ketika terjadi distorsi dalam
sistem pasar.
Konsep makanisme pasar dalam Islam dapat dirujuk kepada
hadits Rasululllah Saw sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan
adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Dengan hadits ini terlihat
dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan
konsep mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Dalam hadits tersebut diriwayatkan
sebagai berikut :
“Harga
melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran
kepada Rasulullah dengan berkata: “ya
Rasulullah hendaklah engkau menetukan harga”. Rasulullah SAW. berkata:”Sesungguhnya Allah-lah yang menetukan
harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan
bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu
menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.”
Inilah teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah SAW
dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan
harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Rasulullah
menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan,
karena Allah-lah yang menentukannya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Islam dan Sistem
pasar adalah aturan yang disiapkan untuk tukar menukar hak milik dean menukar
barang antara produsen dan konsumen, produsen dan distributor, maupun
distributor dan konsumen yang berdasarkan dengan hukum-hukum syari’ah.
Dalam sistem pasar,
terdapat harga dan pasar persaingan sempuran. Harga adalah sejumlah uang
yang menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu. Sedangkan pasar persaingan
sempurna adalah suatu bentuk interaksi antara permintaan dengan penawaran di
mana jumlah pembeli dan penjual sedemikian rupa banyaknya/ tidak terbatas.
Dalam persaingan
di pasar, moral berfungsi sebagai faktor endogen yaitu aturan agar pasar dapat
berperan secara normal (alamiah) dan terjamin keberlangsungannya, di mana
struktur dan mekanismenya dapat terhindar dari perilaku-perilaku negatif para
pelaku pasar. Aturan tersebut yaitu :
1)
Spiritualisme transaksi perdagangan
2)
Aspek hukum dalam mekanisme transaksi perdagangan.
Islam untuk mengatur dan mengawasi pasar secara ketat memiliki
lembaga Hisbah.
Pada zaman Rasulullah, pemerintah
dilarang melakukan intervensi harga. Selain itu, dilarang juga Bai’, Najasy,
dan Tallaqi Rukban, serta Ihtinaz dan Ihtikar. Pada zaman Abu Bakar beliau meneruskan
aturan yang telah ada. Zaman Umar bin Khatthab, beliau melakukan banyak ijtihad
dan menjalankan lembaga hisbah. Zaman Utsman bin Affan, terjadi pengontrolan pasar.
Zaman Ali bin Abi Thalib, Islam mulai mencetak mata uang sendiri. Pada zaman setelahnya
banyak ahli-ahli fikih dan ilmuan yang mengkontribusikan pemikirannya dalam tulisan
dan kitab-kitab tentang sistem ekonomi Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI.
Amalia, Euis, “Mekanisme Pasar dan
Kebijakan Penetapan Harga Adil dalam Perspektif Ekonomi
Islam.” Al-IqtishadVol.
V, No. 1, 2013.
Christine S.T
Kansil, Kitab Undang-Undang Hukum Perusahaan, Jakarta: Pradya Paramita,
2000.
Delarnov, Sejarah
Pemikiran Ekonomi, Jakarta: Raja Grafindo, 2001.
Gray, S.A. and
A. Thomson, The Development of Economic Doktrine, New York: Longman Inc., 1980.
Jaribahbin Ahmad
Al-Haritsi,Al Fiqh Al Iqtishadi li Amiril Mukminin Umar Ibn Al-Khaththab.
Karim, Adiwarman A., Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: IIT
Indonesia, 2003.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan
Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta,
Ekonomi Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008.
Suprayitno, Eko,Ekonomi Mikro
Perspektif Islam, Malang:
UIN Malang Press, 2008.
Taimiyah, Ibnu, Al-Hisbahfil Islam, Kairo: Dar As-Sha`b,
1976.
Zamakhsyari,
Asmuni Solihan, Fikih Ekonomi Umar bin Al Khathab, Jakarta: Pustaka Al
Kautsar, 2006.
Zuhri,
M Syaifuddin, Skripsi Sarjana:“Pemikiran
Adiwarman A. Karim Tentang
Mekanisme Pasar Islami”,Surakarta: UM Surakarta, 2010.
[1] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII
Yogyakarta. Ekonomi Islam, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008),
hlm. 301.
[4]QS. Al-Baqarah: 198
[5]QS. Al-Maidah: 3
[6] M Syaifuddin
Zuhri, SkripsiSarjana:“Pemikiran
Adiwarman A. Karim Tentang Mekanisme Pasar Islami”(Surakarta: UM
Surakarta, 2010), hlm. 4.
[7]Dr. Jaribahbin Ahmad Al-Haritsi. Al Fiqh Al
Iqtishadi li Amiril Mukminin Umar Ibn Al-Khaththab, terj. H. Asmuni Solihan
Zamakhsyari, Lc. Dengan judul Fikih Ekonomi Umar bin Al Khathab,
(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2006) hlm. 599-600
[8] Euis Amalia, 2013, “Mekanisme
Pasar dan Kebijakan Penetapan Harga Adil dalamPerspektif Ekonomi Islam.” Al-Iqtishad Vol. V, No. 1, Januari
2013, 6.
[10]Abdul Aziz, Ekonomi Islam: Analisis Mikro dan Makro(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), hlm.110.
[11]Ibid.,hlm. 111.
[12]C.S.T. Kansil, Prof. Dr., S.H dan Christine S.T
Kansil, S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Perusahaan (Jakarta: Pradya Paramita,
2000), hlm. 284.
[13]Pemikiran ekonomi abad pertengahan tentang harga yang
adil, dapat ditemukan dalam pemikiran Thomas Aquinas.Menurutnya, “Sangat berdosa
mempraktekkan penipuan dalam penjualan dengan menetapkan harga melebihi harga
yang adil. Karena hal itu samadengan mencurangi tetangganya agar menderita kerugian”.
Thomas Aquinas, Summa Thologica II, Pertanyaan LXXVII, Artikel I. dikutip dari Delarnov, Sejarah Pemikiran Ekonomi
(Jakarta: Raja Grafindo, 2001) hlm.5
[14]S.A. Gray and A. Thomson, The Development of
Economic Doktrine (New York: Longman Inc., 1980), hlm. 16-17
[15]Ibnu Taimiyah, Al-Hisbahfil Islam (Kairo: Dar
As-Sha`b, 1976), hlm.25.
[16]QS. Ali Imran: 104
[17]H.R. Tirmidzi.
Komentar
Posting Komentar