pengertian dan perbedaan wakaf, hibah, wasiat, dan waris
PEMBAHASAN
A.
Wakaf
1. Definisi
Wakaf
Secara
etimologis, istilah wakaf berasal dari kata waqf, bisa bermakna habs (menahan).
Istilah waqf sendiri diturunkan dari kata waqafa-yaqifu-yaqfan, artinya sama
dengan hasa-yahbisu-habsan (menahan). Dalam
syariat, waqaf bermakna menahan pokok dan mendermakan buah, atau dengan kata
lain menahan harta dan mengalirkan manfaat-manfaatnya di jalan Allah.
Menurut
Imam Nawawi, wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan
untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada. Harta wakaf digunakan manfaatnya
untuk kebaikan dan mendekatkan diri pada Allah SWT.[1]
Menurut
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Pasal 1 ayat 1, yang disebut
wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syari’at. Wakaf adalah menahan sesuatu benda yang
kekal zatnya untuk diambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan.
2. Landasan
pensyariatan wakaf
Allah telah mensyariatkan wakaf,
menganjurkannya dan menjadikannya sebagai salah satu ibadah untuk mendekatkan
diri kepada-Nya.[2]
a. Al-Qur’an
QS. al Hajj : 77.
....وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. (الحج
: ٧٧)
Artinya:
“...dan perbuatlah kebajikan, supaya
kamu mendapat kemenangan”.
QS.
Ali Imran: 92
لَنْ
تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحَبُّوْنَ.... (آل عمران : ٩٢)
Artinya:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai...”.
b. Hadist
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ
رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِذَا مَاتَ اَلإِنْسَانُ
اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ
عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالَحٍ يَدْعُو لَهُ )
Artinya
: “Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada
orang meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal, yaitu: Sedekah
jariyah (yang mengalir), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang
mendoakan untuknya.” (HR. Muslim)
3. Rukun dan Syarat Wakaf
a. Rukun Wakaf
1. Waqif
(pemberi wakaf), dengan syarat: mukallaf (dewasa), berakal sehat, tidak
terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta benda wakaf.
2. Mauquf
(harta yang diwakafkan)
pada
permulaan wakaf diisyaratkan pada zaman Rasulullah maka sifat-sifat harta yang
diwakafkan haruslah yang tahan lama dan bermanfaat seperti tanah dan kebun.
Tetapi kemudian para ulama berpendapat bahwa harta selain tanah dan kebunpun
dapat diwakafkan asal bermanfaat dan tahan lama, seperti binatang ternak,
alat-alat pertanian, kitab-kitab ilmu pengetahuan dan bangunan. Akan tetapi
dalam hal ini banyak para ulama yang berbeda pendapat. Adapun kesimpulan dari
berbagai pendapat tersebut pada asasnya semua harta yang bermanfaat dapat
diwakafkan, hanya saja harta yang tahan lama lebih lama pula mengalir pahalanya
diterima oleh wakif dibanding dengan harta yang tidak tahan lama.
3. Mauquf
‘alaih (pihak yang diberi wakaf/ peruntukan wakaf)
Wakaf
harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan Syariat
Islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan amal yang mendekatkan diri manusia
kepada Tuhan.[3]
Dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, benda wakaf dapat
diperuntukkan sebagai : sarana dan kegiatan ibadah; sarana dan kegiatan
pendidikan serta kesehatan; bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim
piatu, beasiswa; kemajuan dan kesejahteraan umat.
4. Shighat/
Ikrar wakaf
Dapat
dilakukan secara tertulis atau secara lisan. Ikrar wakaf tersebut dituangkan
dalam akta ikrar wakaf.
b.
Syarat-Syarat Wakaf
1. Untuk
Selama-lamanya merupakan syarat sahnya amalan wakaf, berarti tidak dibatasi dengan
waktu. Maka jika seseoranga berkata “Saya mewakafkan ini kepada fakir miskin dalam
masa satu tahun” wakaf semacam itu tidak sah karena tidak selamanya.
2. Tidak
boleh dicabut bila dalam melakukan wakaf telah sah maka pernyataan itu tidak
boleh dicabut.
3. Pemilikan
wakaf tidak boleh dipindahtangankan, dengan terjadinya wakaf maka sejak itu
harta wakaf telah menjadi milik Allah SWT dan tidak boleh dipindahtangankan
kepada siapapun dan wajib dilindungi.
4. Setiap
wakaf harus sesuai dengan tujuan wakaf pada umumnya, tidak sah wakaf bila
tujuannya tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran agama islam.
B.
Hibah
1. Pengertian
Kata ‘hibah’ berasal dari kata hubuh ar-rih
(embusan angin). Dan kata ini digunakan untuk menunjukkan pemberian dan
kebajikan kepada orang lain, baik dengan harta maupun lainnya. Sementara itu menurut syariat, hibah adalah
akad yang berisi pemberian sesuatu oleh seseorang atas hartanya kepada orang
lain ketika dia masih hidup, tanpa penukar. Sedangkan hibah menurut istilah
adalah akad yang pokok persoalannya, pemberian harta milik orang lain di waktu
ia masih hidup tanpa imbalan. [4]
Jika sesorang hanya mengizinkan orang lain
untuk memanfaatkan hartanya, dan tidak memberikan harta itu kepadanya, maka itu
bukan hibah melainkan peminjaman. Jika pemberian itu dilakukan ketika dia masih
hidup, tetapi baru dilakukan setelah yang memberikan harta itu meninggal, maka
itu disebut wasiat.
Adapun
hibah dengan makna umum mencakup hal-hal berikut ini:
a. Ibra’
(penghapusan utang) yaitu penghibahan utang kepada orang yang berhutang.
b. Sedekah
yaitu penghibahan sesuatu yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala di akhirat.
c. Hadiah
yaitu penghibahan sesuatu yang harus diberikan penukarnya oleh orang yang
diberi hibah.[5]
2. Landasan
Hibah
a. “Tolong menolonglah kamu sekalian atas kebaikan dan
takwa dan janganlah kamu sekalian tolong menolong atas sesuatu dosa dan
permusuhan”. (Q.S
Al – Maidah : 2)
b. “Dan meberikan harta yang dicintai kepada
kerabatnya, anak-anak orang miskin, musyafir ( yang memerlukan pertolongan),
dan orangorang yang meminta”. (Q.S. Al – Baqarah :
17)
c. Rasulallah
bersabda, artinya :
“Dari Abi Hurrairah dari Nabi
Muhammad SAW bersabda : saling memberi hadialah kamu sekalian niscaya kamu akan
mencintai”. (HR. Al – Bukhari)
3. Rukun
Hibah
Hibah dilakukan dengan ijab dan kabul,
dengan perkataan yang menunjukkan adanya proses pemberian suatu barang tanpa
penukar. Misalnya, orang yang berhibah berkata, “aku telah menhibahkan
kepadamu, atau aku telah menhadiahkan kepadamu, atau aku telah memberikana
kepadamu,” dan sejenisnya. Dan si penerima berkata, “aku telah menerima.”
Malik dan Syafi’i mengharuskan adanya kabul
dalam hibah. Sebagian ulama dari mazhab Hanafi berpendapat, ijab saja sudah
cukup. Sementara itu, ulama mazhab Hnbali mengatakan bahwa hibah cukup
dilakukan dengan penyerahan dan pemberian. Nabi saw. biasa memberi dan diberi
hadiah, begitu pula dengan sahabat-sahabat beliau. Dan mereka tidak
mensyaratkan ijab dan kabul, atau sejenisnya.[6]
Adapun yang menjadi rukun hibah:
a.
Wahib (Pemberi) Wahib
adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya kepada orang lain.
b.
Mauhub lah (Penerima
hibah) adalah seluruh manusia dalam arti orang yang menerima hibah.
c.
Mauhub adalah barang
yang di hibahkan.
d.
Shighat (Ijab dan
Qabul) .
4.
Syarat Hibah
a. Syarat
orang yang berhibah
1) Merupakan
pemilik barang yang dihibahkan.
2) Tidak
dilarang untuk membelanjakan hartanya dengan salah satu dari sebab-sebab
pelarangan.
3) Memiliki
kebebasan kehendak, karena hibah adalah akad di man keridhaan adalah syarat
keabsahannya.
b.
Syarat orang yang
diberi hibah
Orang yang diberi hibah disyaratkan
benar-benar ada ketika hibah diberikan. Jika dia sama sekali tidak ada atau
baru dianggap ada misalnya dia masih berbentuk janin maka hibah tersebut tidak
sah. Jika orang yang diberi hibah telah ada ketika hibah diberikan, tapi dia
masih kecil atau gila maka hibah diterima oleh walinya atau orang yang
merawatnya.
c. Syarat
barang yang dihibahkan
1) Barangnya
benar-benar ada.
2) Merupakan
harta yang memiliki nilai.
3) Bisa
dimiliki. Artinya, kepemilikan berlaku atau barang yang dihibahkan dan
kepemilikannya bisa dipindahkan dari satu ke tangan yang lain. Karena itu,
tidak sah menghibahkan air di sungai, ikaan di laut, burung di udara, atau
masjid dan mushola.
4) Tidak
menempel dengan harta orang yang berhibah secara tetap, seperti tanaman, pohon,
dan bangunan tanpa tanah. Barang yang dihibahkan harus bisa dipisahkan dan
diserahkan agar bisa dimiliki oleh orang yang diberi hibah.
5) Merupakan
milik pribadi. Artinya, barang yang dihibahkan bukanlah milik bersama.
Sebagaiman dalam penggadaian, serah terima barang tersebut tidak sah kecuali
jika ia adalah milik pribadi. Sementara itu, Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Abu
Tsaur tidak mensyaratkan hal ini. Mereka berpendapat, barang milik bersama yang
belum dibagikan boleh dihibahkan.
C.
Wasiat
1. Pengertian
Kata
wasiat berasal dari washaya yang artinya orang yang berwasiat menghubungkan
harta bendanya waktu hidup dengan sesudah mati. Menurut Taqiyuddin artinya
pembelanjaan harta dengan khusus sesudah mati. Menurut Zainuddin Ali, wasiat
ialah penyerahan hak atas harta tertentu dari seseorang kepada orang lain
secara sukarela yang pelaksanaanya ditangguhkan hingga pemilik harta meninggal dunia.[7]
Istilah
“wasiat” diambil dari wadhaitu-ushi asy-sya’i (aku menyambung sesuatu). Orang
yang berwasiat menyambung apa yang ada di dalam hidupnya setelah kematiannya.
Dalam syariat, wasiat adalah penghibahan benda, piutang, atau manfaat oleh
seseorang kepada orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang diberi wasiat
memiliki hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat. Sebagian
ulama mendefinisikan wasiat sebagai pemberian kepemilikan yang disandarkan
kepada masa setelah kematian melalui derma.
2. Hukum
Wasiat
Hukum wasiat adalah sunat. Akan tetapi, ada
pula para ulama yang berbeda pendapat tentang hukum wasiat tersebut. Ibnu Hazm
al-Andalusia berpendapat bahwa wasiat itu wajib bagi setiap yang akan meninggal
dunia dan meninggalkan harta peninggalan, baik sedikit atau banyak. Menurut
Sayyid Sabiq hukum wasiat ada beberapa macam, yaitu :
a. Wajib
Wasiat itu wajib dalam
keadaan jika manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan
disia-siakan bila ia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada
Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang
belum ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau amanat yang harus
disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahuai selain dirinya,
atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
b. Sunnah
Wasiat itu disunnahkan
bila diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir dan
orang-orang shaleh.
c. Haram
Wasiat itu diharamkan
jika ia merugikan ahli warits. Wasiat yang maksudnya merugikan ahli warits
seperti ini adalah batil sekalipun wasiat itu mencapai sepertiga harta.
Diharamkan juga mewasiatkan khamar, membangun gereja atau tempat hiburan.
d. Makruh
Wasiat itu makruh jika
orang yang fasik jika diketahui atau diduga keras bahwa mereka akan menggunakan
harta itu didalam kefasikan dan kerusakan.
e. Jaiz
Wasiat diperbolehkan
bila ia ditujukan kepada orang kaya, baik orang yang diwasiati itu kerabat
ataupun orang jauh (bukan kerabat).
3. Dasar
Hukum Wasiat
a. Al-Qur’an
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمْ ألْمَوْتَ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا ألْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِوَالاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقًا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ [
البقرة : ١٨٠ ]
Artinya
: “Diwajibkan
pada kalian semua, apabila kematian telah tiba, ( dan meninggalkan harta yang
cukup), untuk menyampaikan pesan wasiat kepada kedua orang tua, dan kerabat
dekat dengan baik dan bijaksana. Semua itu merupakan hak bagi orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 180)
b.
Hadits
Adapun
hadits tentang wasiat ini, dalam kitab Bulughul Maram dijelaskan bahwasanya :
َوَعَنْ
أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ رضي الله عنه سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله
عليه وسلم يَقُولُ : ( إِنَّ اَللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ ,
فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا
النَّسَائِيَّ , وَحَسَّنَهُ أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَقَوَّاهُ اِبْنُ
خُزَيْمَةَ , وَابْنُ اَلْجَارُودِ
Artinya
: Abu
Umamah Al-Bahily ra. Berkata : aku mendengar Rasulullah bersabda: “sesungguhnya
allah telah memberi hak kepada tiap-tiap yang berhak dan tidak ada wasiat untuk
ahli waris.” (HR. Ahmad dan Imam Empat kecuali
Nasa’i. Hadits hasan menurut Ahmad dan Tirmidzi, dandikuatkan oleh Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Al-Jarud).
D. Waris
1.
Definisi Waris
Waris
menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain.
Atau dari suatu kaum kepada kaum lain.[8]
Waris lebih sering disebut dalam bahasa Arab dengan istilah Al-Miiraats ( الميرات). Al-Miiraats (الميرات) memiliki makna sebagai perpindahan
sesuatu dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan
menurut istilah, waris adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris
kepada ahli waris. Ahli waris ialah orang yang berhak menerima harta
peninggalan orang yang meniggal. Kata waris terdapat dalam berbagai bentuk,
makna tersebut dapat kita temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:[9]
a.
Mengandung makna “mengganti
kedudukan” (QS. al-Naml, 27:16)
b.
Mengandung makna “memberi atau
menganugerahkan” (QS. al-Zumar, 39:74)
c.
Mengandung makna “mewarisi atau
meminta warisan” (QS. al-Maryam, 19:6)
Adapun dalam istilah umum, waris adalah
perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris
yang masih hidup. Pengertian tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh
Wiryono Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan bagaimanakah hak-hak
dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup.[10]
2. Dalil-dalil Waris
a.
Ayat waris untuk anak
يُوْصِيْكُمُ
اللهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ
نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ
وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ...
Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta... (QS. An-Nisaa' : 11)
b. Ayat waris untuk orang tua
....وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ
وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَّمْ
يَكُنْ لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ
إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
آبَآؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا
فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisaa' :
11)
c. Ayat waris buat suami dan istri
وَلَكُمْ
نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ
لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ
يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ
يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar utang-utangmu.” (QS. An-Nisaa' : 12)
d. Ayat
waris Kalalah
Kalalah adalah
seorang wafat tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki atau perempuan.
وَإِنْ
كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ
شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ
مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. An-Nisa' : 12)
3. Rukun
Waris
a) Pewaris,
yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta
peninggalannya.
b) Ahli
waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan
pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan,
atau lainnya.
c) Harta
warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris,
baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
4.
Syarat-syarat
Pewarisan
a. Kematian
orang yang mewariskan, baik kematian secara nyata ataupun kematian secara
hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian seseorang yang hilang.
Keputusan tersebut menjadikan orang yang hilang sebagai orang yang mati secara
hahiki, atau mati menurut dugaan seperti seseorang memukul seorang perempuan
yang hamil sehingga janinnya gugur dalam keadaan mati; maka janin yang gugur
itu dianggap hidup sekalipun hidupnya itu belum nyata.
b. Pewaris
itu hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun hidupnya itu secara
hukum, misalnya kandungan. Kandungan secara hukum dianggap hidup, karena
mungkin ruhnya belum ditiupkan. Apabila tidak diketahui bahwa pewaris itu hidup
sesudah orang yang mewariskan mati, seperti karena tenggelam atau terbakar atau
tertimbun; maka di antara mereka itu tidak ada waris mewarisi jika mereka itu
termasuk orang-orang yang saling mewaris. Dan harta masing- masing mereka itu
dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.
c. Bila
tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan.
5.
Penghalang-Penghalang
Pewarisan
1. Perbudakan
: Seorang budak tidak bisa mewarisi dan tidak pula mendapat warisan, karena dia
milik tuannya.
2. Membunuh
tanpa alasan yang dibenarkan: Pembunuh tidak berhak untuk mendapat warisan dari
orang yang dibunuhnya.
3. Perbedaan
agama : Dengan demikian seorang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan
seorang kafir tidak mewarisi dari seorang muslim; karena hadits yang
diriwayatkan oleh empat orang ahli hadits, dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi saw
bersabda:
"Seorang muslim tidak
mewarisi dari seorang kafir, seorang kafirpun tidak mewarisi dari seorang
muslim". Diriwayatkan oleh Mu'adz, Mu'awiyah, Ibnul Musayyab, Masruq
dan An-Nakha'i.
E.
Perbedaan Antara Waris, Wasiat, Hibah Dan Wakaf
Perbedaan
antara waris, wasiat, hibah dan wakaf bisa dilihat pada diagram berikut :HUKUM PEMBERI
|
WARIS
|
HIBAH
|
WASIAT
|
WAKAF
|
WAKTU
AKAD
|
Setelah wafat
|
Sebelum wafat
|
Sebelum wafat
|
Sebelum wafat
|
WAKTU
PENYERAHAN
|
Setelah wafat
|
Sebelum wafat
|
Setelah wafat
|
Sebelum wafat. Jika sesudah wafat termasuk wasiat
|
PENERIMA
|
Hanya ahli waris
|
Siapa saja
|
Selain ahli waris
|
Siapa saja
|
NILAI
HARTA
|
Sesuai Faraidh
|
Bebas
|
Maks 1/3
|
Bebas
|
Hukum Pemberi
|
wajib
|
sunnah
|
Sunnah
|
sunnah
|
Hukum Implementasi
|
Wajib
|
wajib
|
Wajib
|
wajib
|
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Wakaf adalah
menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara
benda itu tetap ada.
2. Hibah secara istilah adalah, atau akad kepemilikan yang
dimiliki pemberi hibah, pada saat ia hidup, kepada pihak yang diberikan hibah
tanpa adanya pergantian. Maka hibah adalah akad sukarela yang sama sekali tak
ada penggantinya
3. Wasiat ialah
penyerahan hak atas harta tertentu dari seseorang kepada orang lain secara
sukarela yang pelaksanaanya ditangguhkan hingga pemilik harta meninggal dunia.
4. Waris adalah
perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris
yang masih hidup.
5.
Perbedaan antara
wakaf, hibah, wasiat, dan waria terletak pada waktu akad, waktu penyerahan
hartanya, penerima harta, dan nilai hartanya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah.2004, Hukum Wakaf;
Kajian Kontemporer Pertama dan terlengkap Tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf
Secara Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Depok: Dompet Dhuafa Republika dan
IIMaN.
Ali, Zainuddin.2007, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjend Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama RI,2007,Fiqih Wakaf, Jakarta: Depag RI.
Projodikoro, Wiryono.1983,Hukum
Warisan di Indonesia,Bandung: Sumur.
Rofiq, Ahmad.2000,Hukum
Islam di Indonesia,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet.4.
Sabiq,Sayyid,2013.Fiqih Sunah Jilid .,PT.Tinta Abadi Gemilang,cet.1.
Yunus, Mahmud.1990,kamus
Arab-Indonesia,Jakarta: Hidakarya Agung,cet.8
[1] Muhammad
Abid Abdullah Al-Kabisi, 2004, Hukum Wakaf; Kajian Kontemporer Pertama dan
terlengkap Tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Secara Penyelesaian Atas
Sengketa Wakaf, Depok: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaN, hlm. 40.
[2] Sayyid Sabiq,2013,Fiqih Sunah
Jilid 5,PT.Tinta Abadi Gemilang,cet.1,hlm.433.
[3] Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjend Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama RI,2007,Fiqih Wakaf, Jakarta: Depag RI,hlm.46
[5] Sayyid sabiq, hlm 449-450
[6] Ibid sayyid sabiq hlm. 452-253
[8] Mahmud
Yunus,1990,kamus Arab-Indonesia,Jakarta: Hidakarya Agung,cet.8,hlm.496.
[9] Ahmad
Rofiq,2000,Hukum Islam di Indonesia,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Cet.4,hlm.355.
[10] Wiryono
Projodikoro,1983,Hukum Warisan di Indonesia,Bandung: Sumur,hlm.13.
Komentar
Posting Komentar