biografi Al-Awzai dan Imam Malik
1. Imam
Al-Awza’i
A.
Biografi
Al Awza’i
Imam
Al-Auza’i (88 H (706/707 M) – 157 H (773/774 M)) adalah ulama ahlussunnah dan eponim bagi mazhab fikih Auza'i. Nama lengkapnya
adalah Abdurrahman bin Amr bin Yahya Al-Auza’i. Al-Auza’i adalah nisbah ke
daerah Al-Auza’, salah satu wilayah di Damaskus. Menurut Adz-Dzahabi, dia adalah seorang "Syaikh
Islam, 'alim wilayah Syam." Dia bertempat-tinggal di Al-Auza', sebuah kampung kecil di daerah Bab al-Faradis, di
dekat Damaskus, kemudian dia pindah ke Beirut, hingga dia meninggal di sana. Dia
dilahirkan pada tahun 88 H dan mengalami masa kanak-kanak dalam keadaan yatim.
Ia melakukan perjalanan menuntut ilmu (rihlah) menuju Yamamah dan Bashrah.
Tidak
banyak karya pribadinya yang masih bertahan dan dapat ditemukan pada saat ini,
meskipun begitu berbagai perkataannya masih dapat ditemui dari nukilan-nukilan
yang terdapat pada kitab-kitab karya muridnya dan para ulama sesudahnya.
Abu Zur’ah mengatakan tentangnya, “Pekerjaan dia adalah menulis
dan membuat risalah. Risalah-risalah dia sangat menyentuh.” Ia begitu dihormati
oleh Khalifah Al-Manshur dan pernah ditawari untuk menjadi hakim (Qadhi oleh Khalifah namun Al-Auza'i menolaknya. Di akhir
hayatnya, ia berangkat ke Beirutuntuk melaksanakan tugas ribath (menjaga daerah perbatasan) dan wafat di sana.
Dikatakan Warisan yang ia tinggalkan hanya enam dinar yang merupakan sisa dari
sedekah yang dia berikan.[1]
B. Masa Muda Al Awza’i
Al-Abbas bin al-Walid
bercerita bahwa guru-gurunya berkata, bahwa al-Auza’i bercerita, “Ayahku
meninggal ketika aku masih kecil. Pada suatu hari aku bermain-main dengan
anak-anak sebayaku, maka lewatlah seseorang (dikenal sebagai seorang syaikh
yang mulia dari Arab), lalu anak-anak lari ketika melihatnya, sedangkan aku
tetap di tempat. Lantas Syaikh tersebut bertanya kepadaku, “Kamu anak siapa?”;
maka saya menjawabnya. Kemudian dia berkata lagi, “Wahai anak saudaraku, semoga
Allah merahmati ayahmu.” Lalu dia mengajakku kerumahnya, dan tinggal bersamanya
sehingga aku baligh.
Dia mengikutsertakan
aku dalam dewan (kantor/mahkamah pengadilan) untuk bermusyawarah dan juga
ketika pergi bersama rombongan ke Yamamah. Tatkala aku sampai di Yamamah, aku
masuk ke dalam masjid jami’. Pada waktu keluar masjid ada seorang temanku
berkata kepadaku, “Saya melihat Yahya bin Abi Katsir (salah seorang ulama
Yamamah) kagum kepadamu; dan dia mengatakan, ‘Tidaklah saya melihat di antara
para utusan itu ada yang lebih mendapatkan petunjuk daripada pemuda itu!”
Al-Auza’i berkata,
“Kemudian aku bermajelis dengannya dan menulis ilmu darinya hingga 14 atau 13
buku, kemudian terbakar semuanya.” Beliau adalah orang yang pertama kali
menulis buku ilmu di Syam.[2]
Beliau adalah orang
yang menghidupkan malamnya dengan shalat lail, membaca al-Qur’an dan menangis.
Bahkan sebagian penduduk kota Beirut bercerita bahwa pada suatu hari ibunya
memasuki rumah al-Auza’i dan memasuki kamar shalatnya, maka dia mendapati
tempat shalatnya basah karena air mata tangisan malam harinya.
Beliau
meninggal pada tahun 153 H, dan kebanyakan ulama berkata bahwa beliau meninggal
pada tahun 157 H di bulan Shafar. ebab
kematiannya, bahwa setelah beliau menyelesaikan pekerjaannya mengecat sesuatu
dengan cat berwarna, kemudian masuk kamar mandi yang ada di rumahnya; sementara
istrinya masuk bersamanya dengan membawa tabung yang berisi arang agar beliau
tidak kedinginan di dalamnya. Istrinya menutup pintu kamar mandi tersebut.
Ketika asap arang itu menyebar, beliau menjadi lemas. Beliau berusaha membuka
pintu, tetapi tidak bisa. Kemudian beliau terjatuh, dan kami menemukannya dalam
keadaan tangan menghitam dan menghadap ke arah kiblat.
Abu Mushir berkata
tentang kematian al-Auza’i, bahwa ketika dia berada dikamar mandi, istrinya
menutup pintu kamar mandi tersebut tanpa sengaja, sehingga hal itulah yang
menjadi penyebab kematiannya. Karenanya Sa’id bin Abdul Aziz memerintahkan
istri al-Auza’i untuk membebaskan seorang budak. Al-Auza’i tidak meninggalkan
harta warisan melainkan uang sebanyak 6 dinar.
Sumbangan beliau
untuk ekonomi Islam:
1. Awza’i
cenderung membenarkan kebebasan dalam kontrak dan memfasilitasi orang-orang
dalam transaksi mereka.
2. Memberlakukan
sistem bagi-hasil pertanian (muzaraah) karena system ini di butuhkan seperti
halnya dia membolehkan bagi hasil keuntungan (Mudharabah). Dalam hal ini, modal
di pinjamkan boleh dalam bentuk tunai atau natura yang ditolak oleh beberapa
ahli hukum lainnya.
3. Menggunakan
pendekatan yang lebih fleksibel dalam kontrak Salam.[3]
C. Perkembangan Madzhab Al-Auza’ie
Madzhab Al-Auza’i dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Imam Malik dan
Sufyan bin Uyainah, sebelum kedua tokoh itu mendirikan madzhabnya sendiri.
Madzhab Al-Auza’i sempat diamalkan orang di Syam (Syiria) selama 220 tahun
sebelum terdesak oleh madzhab Syafi’i. Madzhab tersebut juga pernah berkembang
di Andalusia, namun akhirnya tergantikan oleh madzhab Maliki. Fatwa dan
pemikiran Al-Auza’i sebenarnya belum pernah terkodifikasi (mudawwan) dalam satu
buku tersendiri.
Salah satu
tokoh berkembangannya madzhab ini ialah Abdurrahman bin Ibrahim
(245 H) dari keluarga Umawi (penguasa ketika itu), yang menyebarkan madzhab al-Auza’ie dengan posisinya sebagai
Gubernur Yordan serta Palestina ketika itu. Dan juga, yang masyhur ialah
Sho’sho’ah bin Salam bin Abdullah al-Dimasyqa (190 H) yang membawa madzhab ini ke Andalus, yang mana
beliau juga seorang khathib di Qurthuba.[4]
Pemikiran Imam yang bersahaja itu tersebar di banyak kitab seperti Ikhtilaf
Al-Fuqaha karya Ibnu Jarir Ath-Thabari dan Al-Umm karya Imam
Syafi’i. Dalam Al-Umm, Imam
Syafi’i mengulasnya secara khusus dalam satu bab tersendiri yang bertajuk kitab
siyarul Auza’i, yang berisi perdebatan antara Imam Hanafi dan ulama Hanafiah
dengan Imam Al-Auza’i. Kitab lain yang memuat pendapat Al-Auza’i antara lain
Muqaddimah al-Jarh wat Ta’dil karya Abu Hatim, Tarikh Damsyiq karya Ibnu Asakir
Ad-Dimasyqi dan Al-Bidayah wan Nihayah karya Abul Fida Muhmmad ibn Katsir
Ad-Dimasyqi. Keilmuan Imam Al-Auza’i begitu membekas di hati rakyat Beirut
hingga saat ini. Terbukti salah satu akademi studi Islam di kota itu yang
didirikan pada tahun 1980an diberi nama Kulliyah Al-Imam Al-Auza’i lid Dirasa
al-Islamiyyah, Akademi Studi Keislaman Imam Al-Auza’i.
D. Pujian Para Ulama terhadap Al Awza’i
·
Al-Kharibi mengatakan,
“Al-Auza’i adalah manusia terbaik di zamannya. Dia layak untuk mendapat jabatan
khilafah.” Ibnu Mushir mengatakan dia menghidupi malamnya dengan salat dan
mengaji Qur'an. Bisyr bin Mundzir mengatakan, “Saya melihat Al-Auza’i seperti
orang buta, karena khusyuknya.”
·
Abdul Malik bin
Muhammad mengatakan, "Tak sekalipun Al-Auza'i berbicara selekas Salat Subuh, hingga dia berdzikir kepada Allah. Kalau perkataannya
cuma satu, dia akan menjawabnya."
Demikianlah, tak hanya dikenal
sebagai ulama yang alim, Imam Abdurrahman Al-Auza’i juga termasyhur dengan
keshalihan dan ketaqwaannya. Perihal ketaqwaan Al-Auza’i, sebagian penduduk
kota Beirut menceritakan, suatu hari ibunya memasuki rumah sang imam dan
memasuki kamar shalatnya. Sang ibu mendapati tempat shalat Imam Al-Auz’ai basah
karena sisa air mata tangisan malam harinya.
Ketika berita keluasan ilmunya
tersebar, para penuntut ilmu pun berduyun-duyun datang dan belajar kepada Imam
Al-Auza’i. Di antara mereka tercatat Syu’bah, Sufyan Ats-Tsauri, Yunus bin
Yazid, Malik, Ibnul Mubarok, Abu Ishaq Al-Fazari, Yahya Al-Qadhi, Yahya
Al-Qaththan, Muhammad bin Katsir, Muhammad bin Syu’aib dan masih banyak lagi.
E.
Dasar pemikiran Ekonomi Al-Awza’i
Dasar pemikiran ekonomi Abdurrahman
Al-Awza’i adalah beliau cenderung membebaskan orang melakukan kontrak dan untuk
memfasilitaskan orang dalam transaksi mereka ia memberlakukan bagi hasil
pertanian (muzraah) sesuai dengan kebutuhannya sebagaimana ia membolehkan bagi
hasil usaha. Tampak pada masa itu sudah di kenalkan sharecropping dan syirkah
bahkan sudah terjadi salah satu bentuk syirkah yang selanjutnya yang dikenal
dengan mudharabah.
F.
Berakhirnya Madzhab Al-Awza’i
Sayangnya,
di pertengahan abad ke-3, madzhab ini perlahan mulai hilang dan
ditinggalkan serta tidak ada lagi yang mengamalkan. Salah satu penyebabnya
adalah masuknya madzhab Imam al-Syafi’i di awal abad ke-3 ke Syam, yang
akhirnya menggerus Madzhab
Al-Awza’i.
Kalau di Andalus, madzhab initergerus oleh eksistensinya madzhab
al-Malikiyah di pertengahan abad ke-3 tersebut.[5]
Tapi
kalau diteliti lebih dalam, punahnya madzhab ini bukan hanya karena adanya
madzhab baru yang datang, tapi kerena memang tidak adanya budaya pelestarian
ilmu dengan tulisan yang dilakukan oleh para murid dan pengikut Imam al-Auza’i.
Mereka hanya mengamalkan tanpa mengabadikan. Akhirnya kita sulit untuk
melihat fiqih dan corak ushul madzhab
al-Auza’i serta fatwa-fatwa beliau. Tapi kita akan masih mendapati beberapa
pendapat fiqih beliau di beberapa kitab fiqih Muqaranah Madzhab seperti
Kitab Bidayatul-Mujtahid karangan Imam Ibnu Rusyd, atau juga kitab al-Majmu’
karangan Imam al-Nawawi, serta kitab Bada’i al-Shana’i karangan Imam al-Kasani
dari kalangan al-Hanafiyah.
2.
Imam Malik bin Annas
A.
Biografi
Imam Malik bin Anas (93 – 197H / 712 -795M)
Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik bin
Abi Amir bin Amr bin al-Harits bin Ghuyman bin Khutsail bin Amr bin Harits.
Ibunya adalah Aliyah bin Syarik al-Azdiyah. Keluarganya berasal dari Yaman,
lalu pada masa Umar bin Khattab, sang kakek pindah ke Kota Madinah dan menimba
ilmu dengan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga
menjadi salah seorang pembesar tabi’in.
Imam Malik dilahirkan di Kota Madinah 79 tahun setelah wafatnya Nabi kita
Muhammad, tepatnya tahun 93 H. Tahun kelahirannya bersamaan dengan tahun
wafatnya salah seorang sahabat Nabi yang paling panjang umurnya, Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu. Malik kecil tumbuh di lingkungan yang
religius, kedua orang tuanya adalah murid dari sahabat-sahabat yang mulia.
Pamannya adalah Nafi’, seorang periwayat hadis yang terpercaya, yang
meriwayatkan hadis dari Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan
sahabat-sahabat besar lainnya, radhiallahu ‘anhum. Dengan lingkungan keluarga yang utama seperti ini, Imam
Malik dibesarkan.
Awalnya, saudara Imam Malik yang bernama Nadhar lebih dahulu darinya dalam
mempelajari hadits-hadits Nabi. Nadhar mendatangi para ulama tabi’in untuk
mendengar langsung hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari para sahabat.
Kemudian Imam Malik pun mengikuti jejak saudaranya dalam mempelajari hadits.
Beberapa waktu berlalu, Imam Malik melangkahi saudaranya dalam ilmu hadits.
Kecemerlangannya semakin tampak karena Malik juga menguasai ilmu fiqh dan
tafsir.[6]
B.
Perjalanan Menuntut Ilmu
dan Menjadi Ulama Madinah
Ibu Imam Malik adalah orang yang paling
berperan dalam memotivasi dan membimbingnya untuk memperoleh ilmu. Tidak hanya
memilihkan guru-guru yang terbaik, sang ibu juga mengajarkan anaknya adab dalam
belajar.[7] Ibunya selalu
memakaikannya pakaian yang terbaik dan merapikan imamah anaknya saat hendak
pergi belajar. Ibunya mengatakan, “Pergilah kepada Rabi’ah, contohlah akhlaknya
sebelum engkau mengambil ilmu darinya.”
Imam Malik belajar dari banyak guru, dan
ia memilih guru-guru terbaik di zamannya agar banyak memperoleh manfaat dari
mereka. Di antara pesan dari gurunya yang selalu beliau ingat adalah untuk
tidak segan mengatakan “Saya tidak tahu” apabila benar-benar tidak mengetahu
suatu permasalahan. Salah seorang guru beliau yang bernama Ibnu Harmaz
berpesan, “Seorang yang berilmu harus mewarisi kepada murid-muridnya perkataan
‘aku tidak tahu’.
Setelah mempelajari ilmu-ilmu syariat
secara komperhensif, Malik bin Anas mulai dikenal sebagai seorang yang paling
berilmu di Kota Madinah. Beliau menyampaikan pelajaran di Masjid Nabawi, di
tengah-tengah penuntut ilmu yang datang dari penjuru negeri.
Salah satu hal yang menarik dari kajian
fiqih yang beliau sampaikan adalah penafsiran-penafsiran hadits dan
pendapat-pendapat beliau banyak dipengaruhi oleh aktifitas yang dilakukan
penduduk Madinah. Menurut Imam Malik, praktik-praktik yang dilakukan penduduk
Madinah di masanya tidak jauh dari praktik masyarakat Madinah di zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]Penduduk Madinah juga
mempelajari Islam dari para leluhur mereka dari kalangan para sahabat Nabi.
Jadi kesimpulan beliau, apabila penduduk Madinah melakukan suatu amalan yang
tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah, maka perbuatan tersebut dapat
dijadikan sumber rujukan atau sumber hukum. Inilah yang membedakan Madzhab Imam
Malik disbanding 3 madzhab lainnya.
C.
Sifat dan Karakter Imam
Malik
Dari segi fisik, Imam Malik dikarunia
fisik yang istimewa; berwajah tampan dengan perawakan tinggi besar. Mush’ab bin
Zubair mengatakan, “Malik termasuk seorang laki-laki yang berparas rupawan,
matanya bagus (salah seorang muridnya mengisahkan bahwa bola mata beliau
berwarna biru), kulitnya putih, dan badannya tinggi.” Abu Ashim mengatakan,
“Aku tidak pernah melihat ahli hadits setampan Malik.”
Selain Allah karuniai fisik yang rupawan,
Imam Malik juga memiliki kepribadian yang kokoh dan berwibawa. Orang-orang yang
menghadiri majlis ilmu Imam Malik sangat merasakan wibawa imam besar ini. Tak
ada seorang pun yang berani berbicara saat ia menyampaikan ilmu, bahkan ketika
ada seorang yang baru datang lalu mengucapkan salam kepada majlis, jamaah hanya
menjawab salam tersebut dengan suara lirih saja. Hal ini bukan karena Imam
Malik seorang yang kaku, akan tetapi aura wibawanya begitu terasa bagi
murid-muridnya.
Demikian juga saat murid-muridnya
berbicara dengannya, mereka merasa segan menatap wajahnya tatkala berbicara.
Wibawa itu tidak hanya dirasakan oleh para penuntut ilmu, bahkan para khalifah
pun menghormati dan mendengarkan nasihatnya.
Imam Syafii yang merupakan salah seorang
murid Imam Malik menuturkan, “Ketika melihat Malik bin Anas, aku tidak pernah
melihat seoarang lebih berwibawa dibanding dirinya.” Demikian juga penuturan
Sa’ad bin Abi Maryam, “Aku tidak pernah melihat orang yang begitu berwibawa
melebihi Malik bin Anas, bahkan wibawanya mengalahkan wibawa para penguasa.”
Imam Malik juga dikenal dengan semangatnya dalam mempelajari ilmu, kekuatan
hafalan, dan dalam pemahamannya. Pernah beliau mendengar 30 hadits dari Ibnu
Hisyam az-Zuhri, lalu ia ulangi hadits tersebut di hadapan gurunya, hanya satu
hadits yang terlewat sedangkan 29 lainnya berhasil ia ulangi dengan sempurna.
Imam Syafii mengatakan,
إذا جاء الحديث، فمالك النجم الثاقب
“Apabila disebutkan sebuah hadits, Malik adalah seorang bintang yang cerdas
(menghafalnya pen.).
Imam Malik sangat tidak suka dengan orang-orang yang meremehkan ilmu.
Apabila ada suatu permasalahan ditanyakan kepadanya, lalu ada yang mengatakan,
‘Itu permasalahan yang ringan.” Maka Imam Malik pun marah kepada orang
tersebut, lalu mengatakan, “Tidak ada dalam pembahasan ilmu itu sesuatu yang
ringan, Allah berfirman,
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan
yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5)
Semua permasalahan agama itu adalah permasalahan yang berat, khususnya
permasalahan yang akan ditanyakan di hari kiamat.”
Imam Malik juga seorang yang sangat
perhatian dengan penampilannya dan ini adalah karakter yang ditanamkan ibunya
sedari ia kecil. Pakaian yang ia kenakan selalu rapi, bersih, dan harum dengan
parfumnya. Isa bin Amr mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang yang
berkulit putih ataupun merah yang lebih tampan dari Malik. Dan juga ian
seseorang yang lebih putih dari pakaiannya.” Banyak riwayat-riwayat dari para
muridnya yang mengisahkan tentang bagusnya penampilan Imam Malik, terutama saat
hendak mengajarkan hadits, namun satu riwayat di atas kiranya cukup untuk menggambarkan
kebiasaan beliau.
Hendaknya demikianlah seorang muslim,
terlebih seseorang yang memiliki pengetahuan agama. Seorang muslim harus
berpenampilan rapi, bersih, dan jauh dari bau yang tidak sedap. Sering kita
lihat saudara-saudara muslim yang dikenal sebagai orang yang taat, mereka
berpenampilan lusuh, pakaian tidak rapi karena jarang distrika atau karena lama
tidak diganti, dan keluar bau tidak sedap dari tubuh atau pakaiannya, ironisnya
ini terkadang terjadi saat shalat berjamaah. Agama kita sangat menganjurkan
kebersihan dan Allah mencintai keindahan.
D.
Firasat Yang Tajam
Sering kita dapati ketika membaca biografi orang-orang shaleh bahwasanya
mereka memiliki firasat yang tajam. Demikian juga dengan Imam Malik bin
Anas rahimahullah. Imam Syafii mengisahkan tentang gurunya ini
sebuah kisah yang menunjukkan kuatnya firasat sang guru.
Kata Imam Syafii, “Ketika aku tiba di Madinah, aku bertemu dengan Malik,
kemudian ia mendengarkan ucapanku. Ia memandangiku beberapa saat dan ia
berfirasat tentangku. Setelah itu ia bertanya, ‘Siapa namamu?’ Kujawab, ‘Namaku
Muhammad.’. Ia kembali berkata, ‘Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah,
jauhilah perbuatan maksiat, karena aku melihat engkau akan mendapatkan suatu
keadaan (menjadi orang besar pen.).”[9]
E.
Wafatnya
Imam malik
meninggal dunia di madinah, yaitu pada tanggal 14 bulan rabi’ul awwal tahun 197
hijriah ada juga pendapat yang mengtakan beliau
meninggal dunia pada 11, 13 dan 14 bulan rajab. Sementara an-nawawi juga
berpendapat beliau meninggal pada bulan safar. Pendapat pertama
adalah lebih termasyhur Malik dikebumikan di tanah perkuburan al-baqi’,
kuburnya dipintu al-baqi’, semoga Allah merindhainya.
Imam syafi’I
pernah berkata : Malik adalah pendidik dan guruku. Darinya aku mempelajari
ilmu, tidak seorangpun yang terlebih selamat bagiku selain dari imam malik.
Menjadikan beliau sebagain hujjah antara aku dengan Allah Ta’ala. Semoga Allah merahmati Imam Malik dan
menempatkannya di surganya yang penuh dengan kenikmatan.
F. Pemikiran ekonomi Imam
Malik bin Anas
Karyanya yang terkenal adalah
kitab Al-Muwatta,sebuah kitab hadist bergaya fikih atau kitab fikih
bergaya hadist.dan inilah kitab hadist dan fikih tertua .
Dasar pemikiran ekonomi
Imam Malik adalah Malik regarded the ruler to be accountable
for welfare to the people. Pemikiran Malik mengisyaratkan tentang perlunya
suatu kebijakan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.Di samping itu pemikiran
malik juga telah membahas tentang masalah-masalah yang bersifat mashalah
,misalnya,tentang persoalan utility. Apakah untuk sosial atau
individu,utility hanya berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Bahwa penguasa mempunyai tanggung jawab
untuk menyejahterakan rakyat, memenuhi kebutuhan rakyat seperti halnya yang
juga dilakukan oleh Umar bin Khotab.
Menerapkan prinsip atau azaz al-Maslahah,
al-Musrsalah. Al-maslahah dapat diartikan sebagai azaz manfaat dan juga bisa
diartikan dengan kebebasan, kegunaan, yakni masyarakat banyak.
Dengan pendekatan kedua azaz ini, imam
Malik bin Anas, mengakui bahwa pemerintah islam memiliki hak untuk memunggut
pajak, bila diperlukan melebihi dari jumlah yang ditetapkan secara khusus dalam
syari’ah.
·
Muhammad bin abdul
hakim berkata : apabila imam malik mengeluarkan pendapatnya dan orang-orang
lain tidak. Maka pendapatnya menjadi hujjah.
·
Ibnu mahdi berkata :
tidak ada d atas dunia ini orang yang lebih selamat tentang, hadist-hadist
Rasulullah selain dari imam Malik.
·
Imam syafi’I berkata : apabila
dating al-atsar maka imam malik sebagai bintang.
·
Abu ayyub bin suwaid
berkata : aku tidak pernah melihat seorang yang lebih bessar benar ucapannya
selain dari imam malik.
·
Abu hakim arrozi
berkata : imam malik seorang yang
mempercayai dan imam untuk Ijjaz dan beliau adalah setegas-tegas sahabat
Az-Zuhri. Apabila mereka berselisih, atwanya terserah kepada imam malaik dan
malik seirang yang sangat bertaqwa, percakapannya sangat bersih dan beliau
lebih halus percakapannya dari ath-thauri dan al-auzai’[10]
Ada beberapa kitab yang menurut para ulama di tulis oleh Imam Malik.
Ø Risalah ila Ibn Wahab fi al-Qadri (رسالة الي ابن وهب في القدر)
Ø Kitab al-Nujum (كتاب النجوم)
Ø Risalah fi al-‘Aqidah (رسالة في العقيدة)
Ø Tafsir li Gharib (تفسير لغريب القران)
Ø Risalah Ila Al-Laits bin Sa’ad (رسالة الي الليث ابن سعد)
Ø Risalah Ila Abi Ghisan (رسالة الي أبي غسان)
Ø Kitab al-sir (كتاب السير)
Ø Kitab al-Manasik (كتاب المناسك)
Ø Kitab al-Muwattha’ (كتاب الموطأ)
Menurut data sejarah,
sebelum al-Muwattha’ sudah banyak tuisan kumpulan hadis, baik di tulis oleh
para sahabat maupun tabi’in. Hanya, tulisan itu habis di telan masa, sehingga
tinggal ceritanya saja yang kita peroleh dalam berbagai riwayat kitab hadis dan
sejarah. Tentu penyusunan kitab ini merupakan momen yang strategis. Terasa di
dalam masyarakat Islam akan kebutuhan catatan ajaran keagamaan dalam bentuk
buku yang sistematis, karena tidak ada buku semacam itu. Sebenarnya, yang di
kehendaki masyarakat tidak harus buku yang hanya menghimpun hadis semata.
Justru yang mereka butuhkan adalah catatan tentang prilaku Nabi dan komentar
para sahabat terhadapnya. Kalau perlu, di masukan juga bagaimana pendapat
penerusnya. Itu sebabnya, al-Muwattha’ tidak hanya memuat berita perilaku Nabi
saja (perbuatan, perkataan, sifat dan pembiarannya), tetapi Imam Malik memaskan
pendapatnya sendiri di dalam kitabnya al-Muwattha’.[11]
Daftar Pustaka
al-'Aziz, '. a.-R. (n.d.). Kitab
al-Fiqih 'ala al-Madzhab al-Arba'ah. qismu al-aqwal as-syakhsiyah.
As-Shalih, S. (2013). Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: PT Pustaka Firdaus.
Asy-Syurbasi, A. (1991). Sejarah
dan Biografi Empat Imam Mazhab. Penerbit Amzah.
Zuhri, P. D. (2003). Hadis
Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Komentar
Posting Komentar