metode-metode Filsafat
1. Metode Kritis (Socrates)
Metode kritis disebut juga metode dialektik. Dipergunakan oleh
Socrates dan Plato. Harold H Titus mengatakan bahwa metode ini merupakan metode
dasar dalam filsafat.
Socrates (470-399 SM) menganalisis objek-objek filsafatnya secara
kritis dan dialektis. Berusaha menemukan jawaban yang mendasarkan tentang objek
analisanya dengan pemeriksaan yang amat teliti dan terus-menerus. Ia
menempatkan dirinya sebagai intelektual mid wife, yaitu orang yang memberi dorongan
agar seseorang bisa melahirkan pengetahuannya yang tertimbun oleh pengetahuan
semunya. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap orang tahu akan hakekat. Jadi
Socrates menolong orang untuk melahirkan pengetahuan hakekat tersebut dengan
jalan mengajak dialog yang dilakukan secara cermat. Dialog ini dilakukan dengan
menarik, penuh humor, segar dan sederhana. Socrates mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan terarah. Lawan dialog giring kearah
persoalan, makin lama makin mendalam kearah intinya.
Lewat proses inilaah orang didorong untuk melahirkan pengetahuan
yang dimiliki. Diteliti konsistensinya, dijernihkan keyakinan-keyakinannya,
dibuka kesadarannya sehingga orang memahami keadaan dirinya. Entah dia memiliki
pengetahuan yang sebenarnya atau dia kurang tahu.
Socrates dalam hal ini bertindak sebagai bidan penolong
sebuah proses kelahiran. Ia sebagai lawan dialog yang kritis dan menyenangkan,
mengantar orang untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang ada. Kemudian secara
sitematis menyusun dalam suatu batasan pengertian yang mengandung nilai
filosofis.
Plato meneruskan usaha gurunya, mengembangkan lebih lanjut metode
Socrates. Dalam dialog Plato, orang dituntun untuk memahami hakekat objek
dengan jalan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara kritis dan mencari rumusan
jawaban yang benar.
Metode Socrates dan Plato ini disebut metode kritis, sebab proses
yang terjadi dalam implikasinya adalah menjernihkan keyakinan-keyakinan orang.
Meneliti apakan memiliki kosistensi intern atau tidak. Prinsip utama dalam metode
kritis adalah perkembangan pemikiran dengan cara mempertemukan ide-ide,
interplay antar ide. Sasarannya adalah yang umum atau batiniah. Akhir dari
dialog kritis tersebut adalah perumusan definisi yang sudah merupakan suatu
generalisasi.
2. Metode Intuitif (Platinos dan Bergson)
Filsuf yang mengembangkan pemikiran dengan metode ini adalah
Platinos (205-275 M) dan Henri Bergson (1859-1941). Platinos menggunakan metode
intuitif atau mistik dengan membentuk kelompok yang melakukan kontemplasi
religious yang dijiwai oleh sikap kontemplatif.
Filsafat Platinos adalah a way of life. Tapi bukan
doktrin yang dogmatis, merupakan jalan untuk menghayati hidup religious yang
mendalam. Dalam kelompoknya Platinos melakukan usaha untuk member semangat dan
mengantarkan mereka kedalam kehidupan rohani.
Metode filsafat Platinos disebut metode mistik sebab dimaksudkan
untuk menuju pengalaman batin dan persatuan dengan Tuhan. Dengan demikian bisa
kita pahami bahwa tujuan Platinos dengan filsafatnya adalah ingin membawa
manusia kedalam hidup mistis, hidup yang mempertinggi nilai rohani dan
persatuan dengan Yang Maha Esa.
Tokoh lain dalam metode intuitif adalah Henry Bergson, seorang
filsuf Yahudi, dia juga seorang matematikus dan fisikawan.
Menurut Henry Bergson, rasio tidak akan mampu untuk menyelami
hakekat sesuatu. Rasio hanya berguna bagi pemikkiran ilmu fisika, matematika,
dan mekanika.
Untuk bisa menangkap, memahami hakekat suatu kenyataan kita harus
mempergunakan intuisi. Intuisi menurut Henry Bergson adalah kekuatan rohani,
merupakan naluri yang mendapatkan kesadaran diri.
Intuisi adalah percakapan untuk menyimpulkan dan meninjau dengan
sadar lepas dari rasio. Pemikiran intuisi bersifat dinamis dan berfungsi
untuk mengenal hakekat pribadi dan seluruh kenyataan. Objek bisa dikenal
sebagai masa murni yang keadaannya berbeda sekali dengan waktu dimana akal bisa
mengenalnya.
Metode intuitif Henry Bergson adalah gambaran yang merupakan suatu
gerakan dinamik, sesuai dengan kenyataan. Dinamika kosmis hanya bisa dipahami
kalau manusia menyelam dan membiarkan diri dalam arus kesadaran. Ia langsung
mengambil bagian dalamnya. Identifikasi telah ditemukan dalam naluri, tapi
dalam manusia mencapai tingkat lebih tinggi bersifat sadar diri, reflektif,
disinterested, lepas dari tuntutan kegiatan dan hidup social.
Penyatuan ini merupakan persepsi yang langsung dan bukan
konseptual. Intuisi langsung dan simple mengenai yang konkrit dan individual,
pengertian yang terdiri dari kontak dan afinitas.
Intuisi dalam metode Henry Bergson merupakan suatu usaha mental
dan konsentrasi pikiran. Menuju kesuatu hal yang spiritual dan bebas, dinamik
dan bergelombang. Bukan kearah kontemplasi yang tenang. Jadi ada perbedaan
dengan metode intuisi Platinos.
3. Metode Skolastik (Aristoteles dan Thomas Aquinas)
Metode Skolastik dikembangkan oleh Thomas Aquinas (1225-1247).
Juga disebut metode sintetis deduktif. Metode berpikir skolastik menunjukan
persamaan dengan metode mengajar dalam bentuknya yang sistematis dan matang.
Ada dua prinsip utama dalam metode sekolastik yaitu Lectio dan Disputatio.
Lectio adalah perkuliahan kritis, diambil teks-teks dari para
pemikir besar yang berwibawa untuk dikaji. Biasanya diberi interpretasi dan
komentar-komentar kritis. Dalam proses inilah bisa timbul objektifitas metodis
yang sangat mendalam terhadap sumbangan otentik dari para pemikir besar.
Soal real dalam teks diberi komentar. Problem-problemnya dipahami,
ide-idenya diinterpretasi, dan kenyataannya dirumuskan, dibedakan, diuji dari
segala segi. Penafsiran, pembahasan, dan pemahaman dari segala sudut. Pro dan
kontra diajukan secara argumentative.
Disputatio adalah suatu diskusi sistematis dan meliputi debat
dialegtis yang sangat terarah.
Bahannya adalah soal-soal yang ditemukan dalam teks atau
persoalan-persoalan yang muncul dari teks tersebut. Bentuk perbincangan sangat
terarah dan sistematis. Dosen mengajukan soal-soal yang problematis, kemudian
keberatan-keberatan diajukan oleh seorang mahasiswa, dan seorang mahasiswa
senior memberikan jawaban-jawaban. Kemudian kesimpulan determinatif kembali
deberikan oleh dosen, kesimpulan ini merupakan jawaban-jawaban yang tepat atas
persoalan dan keberatan-keberatan yang diajukan.
Disputatio menekankan aspek disiplin. Urutan-urutan harus tepat
dalam mengajukan soal-soal diskusi. Harus mengarah kejalan penemuan.
Aspek lain dalam metode ini adalah penahanan terhadap sistem berpikir yang
harus berlandakan aturan logika formal. Dan dengan metode ini diharapkan
terjadi proses kreatif, terbentuk sikap kritis serta kemampuan berpikir
mandiri. Akhirnya akan lahir pemikiran-pemikiran filsafat.
4. Metode Geometris, Rene Descartes
Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks di capai intiuisi akan
hakikat-hakikat sederhana (ide terang dan berbeda dari yang lain), dari
hakikat-hakikat itu di dedukasikan secara matematis segala pengertian lainnya.
Rene Descartes (1596-1650) adalah pelopor filsafat modern yang
berusaha melepaskan dari pengaruh fisafat klasik. Dalam metodenya Descartes
mengintegrasikan logika, analisa geometris dan aljabar dengan menghindari
kelemahannya. Metode ini membuat kombinasi dari pemahaman intuitif akan
pemecahan soal dan uraian analitis. Mengembalikan soal itu kehal yang telah
diketahui tetapi akan menghasilkan pengetian baru.
Menurut Descartes semua kesatuan ilmu harus dikonsepsikan dan
dikerjakan oleh seorang diri saja. Koherensi yang tepat harus dating
dari seseorang. Orang harus menemukan kebenaran sendiri. Mencari pemahaman dan
keyakinan pribadi tidak harus mulai dengan kebenaran-kebenaran yang sudah diterima
dari orang lain.
Descartes ingin mencari titik pangkal yang bersifat mutlak dari
filsafat dengan menolak atau meragukan metode-metode dan pengetahuan lain
secara prinsipel ia menghasilkan segala-galanya. Tapi keraguan ini adalah
bersifat kritis.
Descartes banyak member pengaruh pada filsafat dan ilmu
pengetahuan modern. Terutama usaha-usaha pembaharuannya, baik dalam pemikiran
maupun metode ilmiah. Tapi juga banyak kritik ditujukan pada filsafat dan
pembaharuannya.
Descartes membangun kerangka berpikir dari ‘keraguan’ terhadap
sesuatu, dari ‘keraguan’ terus berpikir logis menuju ke ‘kepastian’ untuk
menemukan ‘keyakinan’ yang berada di balik keraguan itu, ketika keyakinan itu
begitu jelas dan pasti (clear and distinct) akhirnya diperoleh ‘keyakinan yang
sempurna, yang disebut truths of reason. Jadi, akal (reason) itulah basis
(dasar) yang terpenting dalam berfilsafat. Filsafat Descartes ini disebut
filsafat modern (modern philosophy). Tokoh atau filosof lain yang mendukung
Descartes adalah Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716), dan Hobbes
(Peursen,C.A. 1980; Tafsir, A. 2003). Metode rasional inilah yang nantinya
menghasilkan aliran atau paham rasionalisme dalam studi filsafat.
5. Metode Empiris (Thomas Hobbes & John Locke)
Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan
mengecilkan peran akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa yunani empeiria
yang berarti pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan
rasionalisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa rasionalisme ditolak sama sekali.
Dapat dikatakan bahwa rasionalisme dipergunakan dalam kerangka empirisme, atau
rasionalisme dilihat dalam bingkai empirisme
Orang pertama pada abad ke-17 yang mengikuti aliran empirisme di
Inggris adalah Thomas Hobbes (1588-1679). Jika Bacon lebih berarti dalam bidang
metode penelitian, maka Hobbes dalam bidang doktrin atau ajaran. Hobbes telah
menyusun suatu sistem yang lengkap berdasar kepada empirisme secara konsekuen.
Meskipun ia bertolak pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode
yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan
empirisme dengan rasionalisme matematis. Ia mempersatukan empirisme dengan
rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada
zaman modern.
Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang
bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek
atau akibat-akibat, atau tentang penampakan-panampakan yang kita peroleh dengan
merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau
asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati untuk mencari
sebab-sebabnya. Adapun alatnya adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan dengan
kata-kata yang menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan
fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam
kesadaran kita. Sasaran ini dihasilkan dengan perantaraan
pengertian-pengertian; ruang, waktu, bilangan dan gerak yang diamati pada
benda-benda yang bergerak. Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada
benda-benda itu adalah nyata, tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari
bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan
sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada si pengamat saja. Segala
yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan
ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab akibat termasuk situasi kesadaran
kita.
Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan diperoleh
melalui pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal
pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman.
Segala pengetahuan diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya
pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian.
Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa pengenalan
dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Ketika melakukan
proses penjumlahan dan pengurangan misalnya, pengalaman dan akal yang
mewujudkannya. Yang dimaksud dengan pengalaman adalah keseluruhan atau
totalitas pengamatan yang disimpan dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu
pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu.
Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan
adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak kita
kemudian ke jantung. Di dalam jantung timbul reaksi, yaitu suatu gerak dalam
jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak
reaksi tadi.
Selanjutnya tradisi empiris diteruskan oleh John Locke (1632-1704)
yang untuk pertama kali menerapkan metode empiris kepada persoalan-persoalan
tentang pengenalan atau pengetahuan. Bagi Locke, yang terpenting adalah
menguraikan cara manusia mengenal. Locke berusaha menggabungkan teori-teori
empirisme seperti yang diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme
Descartes. Usaha ini untuk memperkuat ajaran empirismenya. Ia menentang teori
rasionalisme mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai
bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan
tidak lebih dari itu. Peran akal adalah pasif pada waktu pengetahuan
didapatkan. Oleh karena itu akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya
sendiri. Pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan
yang kosong (tabula rasa). Di dalam buku catatan itulah dicatat
pengalaman-pangalaman inderawi. Seluruh pengetahuan kita diperoleh dengan jalan
menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta
refleksi yang pertama dan sederhana.
Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi
(otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui
pengalamanlah kertas itu terisi atau yang kita kenal dengan istilah Tabula
Rasa.
Tabula Rasa (dari bahasa Latin kertas kosong) merujuk pada
pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan,
dengan kata lain "kosong", dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh
sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat inderanya terhadap
dunia di luar dirinya.
Gagasan mengenai teori ini banyak dipengaruhi oleh pendapat John
Locke di abad 17. Dalam filosofi Locke, tabula rasa adalah teori bahwa pikiran
(manusia) ketika lahir berupa "kertas kosong" tanpa aturan untuk
memroses data, dan data yang ditambahkan serta aturan untuk memrosesnya
dibentuk hanya oleh pengalaman alat inderanya. Pendapat ini merupakan inti dari
empirisme Lockean. Anggapan Locke, tabula rasa berarti bahwa pikiran individu
"kosong" saat lahir, dan juga ditekankan tentang kebebasan individu
untuk mengisi jiwanya sendiri. Setiap individu bebas mendefinisikan isi dari
karakternya - namun identitas dasarnya sebagai umat manusia tidak bisa ditukar.
Dari asumsi tentang jiwa yang bebas dan ditentukan sendiri serta dikombinasikan
dengan kodrat manusia inilah lahir doktrin Lockean tentang apa yang disebut
alami.
Menurut Locke, pikiran bukanlah sesuatu yang pasif terhadap segala
sesuatu yang datang dari luar. Beberapa aktifitas berlangsung dalam pikiran.
Gagasan-gagasan yang datang dari indera tadi diolah dengan cara berpikir,
bernalar, mempercayai, meragukan dan dengan demikian memunculkan apa yang
dinamakannya dengan perenungan.
Locke menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap adalah
penginderaan sederhana. Ketika kita makan apel misalnya, kita tidak merasakan
seluruh apel itu dalam satu penginderaan saja. Sebenarnya, kita menerima
serangkaian penginderaan sederhana, yaitu apel itu berwarna hijau, rasanya
segar, baunya segar dan sebagainya. Setelah kita makan apel berkali-kali, kita
akan berpikir bahwa kita sedang makan apel. Pemikiran kita tentang apel inilah
yang kemudian disebut Locke sebagai gagasan yang rumit atau ia sebut dengan
persepsi. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa semua bahan dari
pengetahuan kita tentang dunia didapatkan melalui penginderaan.
Ini berarti bahwa semua pengetahuan kita betapapun rumitnya, dapat
dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama
yang dapat diibaratkan seperti atom-atom yang menyusun objek-objek material.
Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali seperti demikian itu
bukanlah pengetahuan atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai
hal-hal yang faktual.
Di tangan empirisme Locke, filsafat mengalami perubahan arah. Jika
rasionalisme Descartes mengajarkan bahwa pengetahuan yang paling berharga tidak
berasal dari pengalaman, maka menurut Locke, pengalamanlah yang menjadi dasar
dari segala pengetahuan. Namun demikian, empirisme dihadapkan pada sebuah
persoalan yang sampai begitu jauh belum bisa dipecahkan secara memuaskan oleh
filsafat. Persoalannya adalah menunjukkan bagaimana kita mempunyai pengetahuan
tentang sesuatu selain diri kita dan cara kerja pikiran itu sendiri.
Hanya pengalamanlah menyajikan pengertian benar, maka semua
pengertian (ide-ide ) dalam intropeksi di bandingkan dengan cerapan-cerapan
(impresi) dan kemudian di susun bersama secara geometris.
6. Metode Transendental (Immanuel Kant & Neo Skolastik)
Immanuel Kant (1724-1804) dalam filsafat mengembangkan metode
kritis transcendental. Kant berpikir tentang unsure-unsur mana dalam pemikiran
manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam
rasio manusia. Ia melawan dogmatisme.
Kant tidak mau mendasarkan pandangannya kepada
pengertian-pengertian yang telah ada. Harus ada pertanggung jawaban secara
kritis. Kant mempertanyakan bagaimana pengenalan objektif itu mungkin. Harus
diketahui secara jelas syarat-syarat kemungkinan adanya pengenalan dan
batas-batas pengenalan itu.
Metodenya merupakan analisa criteria logis mengenai titik pangkal.
Ada pengertian tertentu yang objektif sebagai titik tolak.
Analisa tersebut dibedakan dalam beberapa macam:
- Analisa psikologis. Analisa ini merupakan
penelitian proses atau jalan kegiatan yang factual. Prinsipnya adalah mencari
daya dan potensi yang berperanan. Kemudian memperhatikan peningkatan taraf
kegiatan, inferensi, asosiasi, proses belajar, dsb.
- Analisa logis. Meneliti hubungan antara
unsur-unsur isi pengertian satu sama lain.
- Analisa ontologis. Meneliti realitas subjek dan
objek menurut adanya.
- Analisa kriteriologis. Meneliti relasi formal
antara kegiatan subjek sejauh ia mengartikan dan menilai hal tertentu.
Dalam metode Kant juga dipergunakan kergu-raguan. Kant meragukan
kemungkinan dan kompetensi metafisik. Metafisik tidak pernah menemukan metode
ilmiah yang pasti untuk memecahkan problemnya.
Kant menerima nilai objektif dari ilmu-ilmu positif karena
mendatangkan kemajuan dalam hidup sehari-hari. Demikian juga tentang nilai
objektif agama dan moral. Sebab mendatangkan kemajuan dan kebahagiaan. Karena
itulah Kant menerima dan meneliti dasar-dasar yang bukan empiris, tetappi
sintetis apriori.
Kant juga melakukan pembagian terhadap macam-macam pengertian
- Pengertian analitis. Bentuknya selalu apriori
seperti kita lihat dalam ilmu pasti. Dalam pengertian analitis prediket sudah
termuat dalam konsep subjek. Tidak otomatis mengenai kenyataan dan tidak
memberi pengertian baru.
- Pengertian sintetis. Relasi subjek dan prediket
berdasarkan objek riil.terjadi kesatuan dari hal-hal yang berbeda sehingga
timbul pengertian yang baru.
Ada dua pengertian sintetis: apriori dan aposteriori. Sintetis
apriori merupakan pengertian umum, universal dan pasti. Misalnya air mendidih
pada suhu 100o C. sintetis aposteriori tidak bersifat
universal. Misalnya saya merasa panas.
Filsafat Kant disebut kritisisme. Metodenya bersifat kritik. Dia
mulai dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant
memang seorang pembaharu dengan kritik-kritiknya. Ia membawa
perubahan-perubahan tertentu dalam filsafat. Kant memberi alternatif metode
yang relevan.
Metode ini bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu dengan
jalan analisis di selidiki syarat-syarat apriori bagi pengertian
demikian.
7. Metode Fenomenologis (Husserl)
Edmund Husserl (1859-1938) mengembaangkan metode fenomenologis
dalam filsafat. Menurut Husserl dalam usaha kita mencapai hakekat –pengertian
dalam aslinya- harus melalui proses reduksi. Reduksi adalah proses pembersihan
atau penyaringan dimana objek harus disaring dari beberapa hal tambahannya.
Obyek penyelidikan adalah fenomena. Dan yang kita cari adalah kekhasan hakekat
yang berlaku bagi masing-masing fenomena. Fenomena adalah yang menampak. Yaitu
data sejauh disadari dan sejauh masuk dalam pemahaman. Obyek justru dalam
relasi dengan kesadaran. Jadi fenomena adalah yang menampakkan diri menurut
adanya didalam diri manusia.
Fenomenologis mengadakan refleksi mengenai pengalaman langsung.
Melakukan penerobosan untuk mencari pengertian sebenarnya atau yang hakiki.
Kita harus menerobs gejala-gejalanya yang menampakkan diri sampai pada hakekat
obyek. Jalan yang ditempuh adalah reduksi yang menurut Husserl ada tiga macam :
- Reduksi fenomenologis, kita berupaya untuk
mendapatkan fenomen dalam bentuk semurni-murninya. Cara yang ditempuh adalah
dengan jalan menyaring pengalaman-pengalaman kita. Obyek kita selidiki
sejauh kita sadari. Kita pandang obyek menurut hubungannya dengan kesadaran.
Mengenai fakta-fakta kita tidak melakukan refleksi.
Dalam proses ini ada segi-sehi yang sementara kita singkirkan.
Ditempatkan diantara tanda kurung. Atau menurut istilah yang menurut Husserl
–Einklamerung-. Segi-segi yang sementara disingkirkan ini adalah: pandangan
adat, agama, pandangan umum dan ilmu pengetahuan. Kalau langkah-langkah
tersebut berhasil kita akan bisa mengenal gejala dalam dirinya sendiri atau
yang disebut fenomen.
- Reduksi eidetis atau penilaian. Dalam proses ini
kita akan melihat hakekat sesuatu atau pengertian sejatinya. Semua gejala kita
tinjau lagi untuk membedakan mana yang intisari dan mana yang tidak. Yang
kitacari adalah hakekat fenomenologis yang bersifat luas bukan arti umum, bukan
arti yang tersembunyi. Bukan hakekat yang spesifik, tetapi struktur dasariah
yang meliputi isi fundamental, sifat hakiki, relasi hakiki dengan kesadaran.
Prosesnya mulai dengan titik tolak intuisi praprediktif. Digambarkan, diteliti,
dan dianalisa dengan berdasarkan pengalaman pertama dan tekhniknya adalah :
a. Kelengkapan, analisa harus melihat segala suatu
yang ada dalam data secara eksplisit dan sadar. Dalam analisa harus kita
temukan kembali unsur maupun segi dalam fenomena.
b. Diskripsi, segala yang terlihat harus bisa diuraikan dalam
analisa. Kita gambarkan satu-persatu semua unsur daro objek dan dibentangkan.
Hubungan satu sama lain harus tergambar dan diketahui perbedaan-perbedaan
pentingnya dalam penjelasan yang tuntas sehingga jelas aspek-aspeknya.
c. Variasi Imajinasi, apakah sifat-sifat tertentu
memang hakiki bisa ditentukan dengan mengubah contoh-contoh, menggambarkan
contoh tertentu yang representatif. Misalnya manusia dengan panca inderanya.
Sitambah dan dikurangi salah sau sifat. Hanya dengan tiga indera misalnya,
apakah dia masih person. Apakah diskripsi itu masih mengenai macam objek yang
sama seperti yang pertama.
d. Kriterium Koherensi, kita dapat mengukur tepatnya analisa
fenomenologis dengan kriterium koherensi ;
Pertama, harus ada kesesuaian antara subjek, objek intensional dan
sifat-sifat. Observasi yang beturut-turut harus dapat disatukan dalam satu
horizon yang konsisten. Kedua, harus ada koherensi dalam deretan kegiatan.
Setiap observasi memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang
pertama atau yang melangsungkan. Harus ada kontinuitas diantara tindakan yang
dapat dilakukan subjek.
Fenomenologis harus melakukan analisa internasional yaitu
menjelaskan dan merumuskan horizon-horizon bagi tindakan-tindakan intensional
tertentu. Hasil proses reduksi eidetis kita akan mencapai intuisi hakekat.
Ketiga, Reduksi Transendental. Reduksi Transendental ini adalah
pengarahan ke subjek. Jadi fenomenologi itu diterapkan kepada subjeknya sendiri
dan kepada perbuatannya. Kepastian akan kebenaran pengertian kita bisa peroleh
dari pengalaman yang sadar yang disebut erlebnisse. Didalamnya kita bisa
mengalami diri kita sendiri. Aku-kita selalu berhubungan dengan dunia benda
diluar kita dalam situasi jassmaniah tertentu.
8. Metode Dialektis (Hegel, Marx)
Metode yang dikembangkan oleh Hegel (George Wilhelm Friederich
Hegel, 1770-1831) disebut metode dialektis. Disebut demikian sebab jalan untuk
memahami kenyataan adalah dengan mengikuti gerakan fikiran atau konsep. Metode
teori dan sistem tidak dapat dipisahkan karena saling menentukan dan keduanya
sama dengan kenyataan pula.
Menurut Hegel, struktur didalam pikiran adalah sama dengan proses
genetis dalam kenyataan. Dengan syarat kita mulai berfikir secara benar, kita
akan memahami kenyataan sebab dinamika dinamika fikiran kita akan terbawa.
Dialektis terjadi dalam langkah-langkah yang dinamakan
tesis-antitesis-sintesis. Diungkapkan dalam tiga langkah: dua pengertian yang
bertentangan, kemudian dipertemukan dalam suatu kesimpulan. Implikasinya adalah
dengan cara kita menentukan titik tolaknya lebih dulu. Kita ambil
suatu pengertian atau konsep yang jelas dan paling pasti. Misalnya konsep
tentang keadilan, kebebasan, kebaikan, dsb. Konsep tersebut dirumuskan secara
jelas, kemudian diterangkan secara mendasar. Dalam proses pemikiran ini konsep
yang jelas dan terbatas ini akan cair dan terbuka. Menjadi titik tegas dan
hilang keterbatasannya.
Kemudian pikiran akan dibawa dalam langkah kedua yang berupa
pengingkaran. Konsep atau pemikiran pertama akan membawa konsep yang menjadi
lawannya. Timbullah pengertian ekstrim yang lain. Terjadilah penyangkalan
terhadap pengertian pertama :
ü Kebebasan menimbulkan keharusan
ü Ada menimbulkan tiada
ü Absolute menimbulkan relative
ü Aktif menimbulkan pasif.
Konsep yang muncul dalam langkah kedua inipun akan mengalami
perlakuan yang sama dalam langkah pertama. Dijelaskan, diuraikan, diterangkan,
dan diekstrimkan. Kemudian konsep ini akan terbuka dann menuju konsep ketiga.
Langkah ketiga ini merupakan pemahaman baru. Berujud pengingkaran terhadap
pengingkaran. Jadi selau dinamik.
Menurut Hegel ada tahap mutlak yang harus dilalui untuk mencapai
kebenaran yaitu kontradiksi-kontradiksi yang berfungsi sebagai motor dialektik.
Hegel menampilkan contoh tentang bentuk negara sebaimana disadur
oleh Dr.K.Bertens dalam Ringkasan Sejarah Filasafat: bentuk Negara yang pertama
adalah diktator. Hidup masyarakat diatu secara baik, tetapi warga Negara tidak
mempunyai kebebasan, ini sebagai tesis. Antitesisnya keadaan berlawanan yang
tampil yaitu anarki. Dalam bentuk Negara ini para warga Negara memiliki
kebebasan tanpa batas dan hidup masyarakat jadi kacau.
Tesis dan antitesis ini akan bertemu dalam sintesis yaitu
demokrasi konstitusional. Inilah sintesisnya. Dalam Negara
yang ketiga ini kehidupan masyarakat berjalan dengan baik, kebebasan
para warga Negara dijamin, aturan yang baik sudah diciptakan, batas-batas
konsitusional semakin jelas, warga Negara berada dalam batas undang-undang yang
berlaku.
Ini adalah contih dari proses dialektis. Nampak dalam contoh ini
tahapan-tahapan yang terdiri dari tiga fase. Ada tesis yang berhadapan dengan
antitesisnya. Akhirnya didamaikan dalam sintesis dalam fase ketiga.
9. Metode Nen-Positivistis
Kenyataan yang di pahami menurut hakikatnya dengan jalan
mempergunakan aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu pengetahuan positif
(eksakta).
Non-positivisme adalah satu cara pandang open mind untuk
mendapatkan keunikan informasi serta tidak untuk generalisasi, yang entry
pouint pendekatannya berawal dari pemaknaan untuk menghasilkan teori dan bukan
mencari pembenaran terhadap suatu teori ataupun menjelaskan suatu teori,
dikarenakan kebenaran yang diperoleh ialah pemahaman terhadap teori yang
dihasilkan. Untuk ini dalam non positivisme terdapat tiga hal penyikapan,
yaitu:
Memusatkan perhatian pada interaksi antara actor dengan dunia
nyata.
Actor manusia pelaku ekonomi maupun dunia ekonomi senyatanya perlu
dipandang sebagai proses dinamis dan bukan sebagai sturktur yang statis.
Arti penting yang terkait dengan kemampuan actor pelaku ekonomi
untuk menafsirkan kehidupan sosialnya.
Dalam interaksi sosial, non-positivistic mengakomodir perhatian
pada kajian penjelasan aktor pelaku maupun cara cara penjelasannya dapat
diterima atau ditolak oleh pihak lain.
10. Metode Analitika Bahasa
(Wittgenstein)
Menurut Ludwig Von Wittgenstein (1889-1951) filsafat adalah hanya
merupakan metode Critique of Language. Analisa bahasa adalah metode netral.
Tidak mengandaikan epistemology, metafisika, atau filsafat. Metode Wittgenstein
mempunyai maksud positif dan negatif. Positif maksudnya bahasa sendirilah yang
dijelaskan. Apakah memang dapat dikatakan dan bagaimanakah dapat dikatakan.
Segi positif diarahkan pada segi negatif dengan jalan poositif
mempunyai efektherapeutis (penyembuhan) terhadap kekeliuran dan kekacauan.
Dengan ditampakkan jalan bahasa dan diperlihatkan sumber-sumber salah paham,
orang akan terbuka untuk melihat hal-hal menurut adanya.bukan dengan mengajukan
teori-teori, tidak dengan menetapkan peraturan bahasa dan juga bukan dengan
membuktikan kesalahan ucapan-ucapan yang dipersoalkan.
Untuk menganalisa makna bahasa, Wittgenstein mempergunakan
teknik-teknik khusus. Wittgenstein membedakan bahasa dalam unit-unit paling
dasariah : sesuatu tata bahasa dan susunan logis.
Dalam bahasa struktur logis dan struktur tata bahasa sering
menimbulkan kesulitan. Dua ucapan yang mempunyai struktur tata bahasa sama,
bisa berbeda menurut struktur logisnya. Wittgenstein mencontohkan kata ‘is’
dalam bahasa inggris bisa berarti sama dengan, bisa berarti ada.
Konsep nyata dan konsep formal berbeda. Orang sering terdorong
untuk memakai konsep formal. Seakan-akan itu konsep nyata. Hal ini mengacaukan.
Konsep formal hanya merupakan suatu nama, harus diisi dengan konsep nyata.
Teknik kedua adalah usaha menentukan bahasa ideal. Bahasa itu
bersifat tepat dan logis. Titik tolaknya atom-atom logis yang paling sederhana.
Bahasa mempunyai unit-unit dasariah yang bisa dijelaskan menurut struktur yang
tepat.
Wittgenstein tidak memisahkan bahasa natural dan bahasa ideal
secara tegas. Dan ia memakai beberapa teknik logis yang khas untuk menentukan
hubungan intern antara ucapan-ucapan. Ia menyusun suatu jenjang kemungkinan
benar salah.
Menurut Wittgenstein batas bahasa juga merupakan batas dunia. Kita
hanya bisa bicara mengenai hal-hal didalam dunia dan didalam pikiran. Tidak
dapat keluar dari bahasa dan dunia. Hal-hal yang dapat dibicarakan dalam bahasa
adalah apa yang nyata didalam dunia. Tidak mungkin bicara hal-hal metafisis,
logika psikologi, metafisika dianggap tidak punya makna. Benar dan salah tidak
bisa dipertimbangkan.
Komentar
Posting Komentar