Hukum-hukum yang terkandung dalam AL-Quran
Hukum-hukum yang terkandung dalam AL-Quran
Dalam
kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa melepaskan diri dari
aktivitas-aktivitas yang bernuansa hukum. Selama melakukan aktivitasnya,
manusia berarti melakukan tindakan hukum. Permasalahannya adalah tidak semua
manusia yang melakukan aktivitas tersebut mengerti aturan-aturan hukum. Agar
apa yang dilakukannya tidak bertentangan dengan hukum yang ada, manusia harus
memahami dan menyadari berbagai aturan hukum yang terkait dengan setiap
perbuatannya dalam segala aspek kehidupannya.
Setiap
muslim seharusnya memahami permasalahan hukum, khususnya hukum islam. Aktivitas
seorang muslim sehari-harinya tidak lepas dari permasalahan hukum islam, baik
ketika melakukan ibadah kepada Allah maupun ketika melakukan hubungan social
ditengah- tengah masyarakatnya.
Allah telah menetapkan sumber hukum
islam yang wajib diikuti setiap muslim. Kehendak Allah tersebut, terekam dalam
al-Qur’an yang menjadi sumber hukum pertama dalam agama islam. Aturan Allah
yang terdapat dalam al-Qur’an memiliki tiga fungsi utama sebagai huda
(petunjuk), bayyinat (penjelasan), dan furqon (pembeda).
Al-Qur’an
mengandung pelajaran yang baik untuk dijadikan penuntun dalam pergaulan antara
satu golongan manusia, antara keluarga dengan sesama, antara murid dengan guru,
antara manusia dengan Tuhan. Bahasa yang digunakan dalam terjemahan Al-Qur’an
tidak seperti bahasa yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari, karena
Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw. Untuk dapat memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur’an, manusia perlu
megkaji lebih dalam. Terjemahan-terjemahan Al-Qur’an ada dalam semua bahasa.
Terjemahan Al-Qur’an menjadi keinginan tiap kaum muslim untuk dapat membaca dan
memahami Al-Qur’an dalam bahasa yang asli yaitu bahasa Arab.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan hukum dan Al-Qur’an?
2. Bagaimana penjelasan Al-Qur’an
terhadap hukum?
3. Apa saja Isi yang terkandung dalam
Al-Qur’an?
4. Apa
sajakah hukum yang terkandung didalam Al-Qur’an?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian hukum dan Al-Qur’an.
2. Untuk
mengetahui penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum.
3. Untuk
mengetahui Isi yang terkandung dalam Al-Qur’an.
4. Untuk
mengetahui hukum yang
terkandung dalam Al-Qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum
Hukum secara
epistimologi bermakna Al-Man’u yakni “mencegah”, hukum juga berarti qadha’
artinya “putusan”. Menurut istilah ahli fiqih yang disebut hukum adalah bekasan
dari titah Allah atau sabda Rasulullah saw. Apabila disebut syara’, maka yang dikehendaki adalah
hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang dibicarakan dalam
ilmu fiqih, bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan akhlak. Mayoritas
ulama membagi hukum kepada dua jenis, yaitu hukum
taklifi dan hukum wadh’i.[1]
Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologis, kata al-Qur’an
berasal dari bahasa Arab قرا berarti “bacaan”. Sedangkan secara terminologis,
al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantaraan
malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan lafal
Arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi Rasul bahwasanya dia adalah utusan
Allah, sebagai pedoman sekaligus petunjuk bagi manusia, dan sebagai media
pendekatan (seorang hamba kepada Tuhannya) sekaligus sebagai ibadah bila
dibaca, diawali surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Naas, yang sampai kepada
kita secara teratur (perawinya tidak terputus) secara tulisan maupun lisan,
dari generasi ke generasi, terpelihara dari adanya perubahan dan penggantian.[2]
Menurut ibnu subki (dalam
syarifuddin, 1997: 47) mengartikan Al-Qur’an sebagai lafadz yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw, mengandung mukzizat pada setiap suratnya, yang
dinilai ibadah membacanya. Menurut Syaltut, al-Qur’an adalah lafaz Arabi yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dinukilkan kepada kita secara mutawatir.
Sedangkan menurut Al-Syaukani mendefinisikan al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw, tertulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawatir.[3]
Dari definisi di atas dapat ditarik suatu rumusan mengenai
definisi al-Qur’an, yaitu lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw, yang dinukilkan secara mutawatir.
Sumber Hukum Islam pada dasarnya ada
dua macam, yaitu :
1. Sumber hukum tekstual atau sumber
hukum tertulis, disebut juga dengan nushush
yaitu langsung berdasarkan teks Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad saw.
2. Sumber nontekstual atau sumber tidak
tertulis, disebut juga dengan ghair
an-nushsuh, seperti ihtisan dan qiyas. Meskipun sumber hukum kedua ini
tidak langsung mengambil dari teks Al-Qur’an dan sunnah, tetapi pada hakikatnya
digali dari Al-Qur’an dan sunah.[4]
B. Penjelasan Al-Qur’an terhadap Hukum
Ayat-ayat Al-Qur’an dari segi kejelasannya artinya ada dua
macam, yaitu:
1. Ayat muhkam: ayat yang jelas
maknanya, tersingkap secara terang sehingga menghindarkan keraguan dalam
mengartikannya dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan pemahaman.
2. Ayat mutasyabih: ayat yang tidak
pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan.
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara
yang digunakan al-Qur’an, yaitu:
1. Secara Juz’I (terperinci), al-Qur’an
memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan menurut apa
adanya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan Sunnahnya.
2. Secara Kulli (global), penjelasan
aL-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis besar, sehingga masih memerlukan
penjelasan dalam pelaksanaanya. Yang paling berwenang memberikan penjelasan
adalah Nabi Muhammad dengan sunnahnya.
3. Secara Isyarah, al-Qur’an memberikan
penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya dalam bentuk
penjelasan secara isyarat. Di samping itu, juga memberikan pengertian secara
isyarat kepada maksud lain. Dengan demikian satu ayat al-Qur’an dapat
memberikan beberapa maksud.[5]
4.
C.
Isi Kandungan al-Qur’an
Berdasarkan terjemahan Departemen Agama RI,
al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf.
Kandungan pokok dalam al-Qur’an antara lain sebagai
berikut:
1. Masalah tauhid, termasuk di dalamnya segala
kepercayaan terhadap yang ghaib. Manusia diajak kepada kepercayaan yang benar,
yaitu mentauhidkan Allah swt.
2. Ibadat, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan yang
mewujudkan dan menghidupkan iman di dalam hati dan jiwa.
3. Janji dan ancaman (al-wa’du wal wa’id), yaitu
janji dengan balasan yang baik/pahala bagi mereka yang berbuat baik, dan
ancaman, yaitu siksa bagi mereka yang berbuat kejelekan. Janji dan ancaman di
akhirat berupa surga dan neraka.
4. Riwayat, yaitu sejarah orang-orang terdahulu, baik
itu sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun nabi-nabi utusan Allah swt.
5. Akhlak, yaitu perilaku yang harus dijadikan
perhiasan oleh setiap mukallaf dengan menjalankan hal-hal yang utama dan
menghindarkan diri dari hal-hal yang menghinakan.
6. Muamalah, yaitu hukum-hukum yang termasuk di
dalamnya hukum badan pribadi, perdata, pidana,, hukum acara, hukum tata Negara,
hukum internasional, hukum ekonomi, dan keuangan.
D.
Hukum yang dikandung oleh al-Qur’an
itu ada tiga macam, yaitu :
1. hukum-hukum I’tiqadiyah, yang berkaitan
dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf, yaitu mempercayai
Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir.
2. hukum moralitas, yang berhubungan dengan sesuatu
yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf, berupa hal-hal keutamaan
dan menghindarkan diri dari hal yang hina.
3. hukum amaliyyah yang bersangkut paut dengan
sesuatu yang timbul dari mukallaf, baik berupa perbuatan, perkataan, perjanjian
hukum, dan pembelanjaan. Macam yang ketiga ini adalah fiqh al-Qur’an. Dan
inilah yang dimaksud dengan sampai kepadanya dengan ilmu ushul fiqh.[6]
Hukum-hukum amaliyyah di dalam al-Qur’an
terdiri dari dua macam, yaitu;
a. Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat,
haji, nadzar, sumpah, dan ibadah-ibadah lainnya yang dimaksudkan untuk mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya (habluminallah).
b. Hukum muamalat, seperti akad, pembelanjaan, hukuman,
pidana, dan lainnya yang bukan ibadah dan dimaksudkan untuk mengatur hubungan
antar sesama mukallaf, baik sebagai individu, bangsa, atau kelompok (habluminannas).[7]
Menurut istilah modern, hukum muamalat telah dibagi
menurut sesuatu yang berkaitan dengannya dan maksud yang dikehendakinya menjadi
beberapa macam;
a. Hukum keluarga, yaitu hukum yang berhubungan dengan
keluarga, mulai dari pembentukannya, dan ia dimaksudkan untuk mengatur hubungan
antara suami istri dan kerabat satu sama lain.
b. Hukum perdata, yaitu hukum yang bertalian dengan
perhubungan hukum antara individu-individu dan pertukaran mereka, baik berupa
jual-beli, penggadaian, jaminan, persekutuan, utang piutang, dan memenuhi janji
dengan disiplin. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan harta kekayaan
individu dan memelihara hak masing-masing yang berhak.
c. Hukum pidana, yaitu hukum yang berkenaan dengan
tindak criminal yang timbul dari seorang mukallaf dan hukuman yang dijatuhkan
atas pelakunya. Hukum ini dimaksudkan untuk memelihara kehidupan manusia, harta
mereka, kehormatan mereka, dan hak-hak mereka, serta menentukan hubungan antara
pelakunya, korban tindak kriminal, dan umat.
d. Hukum acara, yaitu hukum yang berkaitan dengan
pengadilan, kesaksian, dan sumpah. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur
usaha-usaha untuk mewujudkan keadilan di antara manusia.
e. Hukum perundang-undangan, yaitu hukum yang
berhubungan dengan pengaturan pemerintahan dan pokok-pokoknya. Hukum ini
dimaksudkan untuk menentukan hubungan penguasa dan rakyat, dan menetapkan
hak-hak individu dan masyarakat.
f.
Hukum antarnegara,
yaitu hukum yang bersangkutan dengan hubungan antara Negara Islam dengan negara
lainnya, hubungan dengan orang-orang non-Islam yang berada di Negara Islam.
Hukum ini dimaksudkan untuk menentukan hubungan Negara Islam dengan Negara
non-Islam, baik dalam keadaan damai maupun dalam suasana peperangan, serta
menentukan hubungan antara umat Islam dengan non-Islam di berbagai Negara Islam.
g. Hukum ekonomi dan keuangan, yaitu hukum yang
berhubungan dengan orang miskin, baik yang meminta-minta maupun yang tidak,
berkenaan dengan harta orang kaya, dan pengaturan berbagai sumber dan
perbankan. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan kekayaan antara
orang-orang dan orang-orang kafir, dan antar Negara dan rakyat.[8]
Dari hukum-hukum yang dikandung oleh
Al-Qur’an seperti diatas dapat ditambahkan bahwa penjelasan Al-Qur’an ada
kalanya terperinci, ada kalanya umum. Penjelasan Al-Qur’an yang terperinci
misalnya dalam hal Ibadah, hukum-hukum keluarga, dan hukum waris. Perincian ini
mengandung makna ta’abbudi (harus diterima dan dilaksanakan) dan tidak perlu
akal mencari tahu hikmahnya secara detail, sehingga hukum ini tetap dan tidak
boleh dirubah-rubah serta disesuaikan perkembangan zaman. Adapun hukum-hukum
umum (tidak rinci) mengandung makna member keleluasan kepada para ulama untuk
memerinci dan menyesuaikan sesuai dengan kemaslahatan dan keutuhan manusia
disetiap zaman dan tempat. Karena itu, nyatalah bahwa hukum islam it uterus
eksis dan selalu sesuai disetiap waktudan tempat ( al-Zuhaili, 1986:440).
Sebagai contoh adalah Al-Qur’an menetapkan sebagai ketentuan umum dalam masalah
hukum-hukum sipil, yakni Allah melarang mengambil harta orang lain secara batal
tetapi harus dengan saling ridha, menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba,
dan membolehkan gadai. Terkait dengan
hukum perundangan, Al-qur’an menetapkan asas umum seperti asas musyawarah dalam
memutuskan perkara. Sementara itu, dalam hukum kenegaraan Al-Qur’an menetapkan
misalnya prinsip toleransi bagi umat islam dengan berhubungan dengan
orang-orang nonmuslim.[9]
Menurut
Muhammad Khuderi Bek dalam bukunya “Tarikh Tasyri’ al-Islami”, ada tiga
prinsip yang melandasi hukum dalam al-Qur’an:
a.
Tidak
memberatkan (عدم التدرج)
Prinsip ini
mengandung arti bahwa hukum al-Qur’an itu bersifat memudahkan. Pelaksanaannya
disesuaikan dengan tingkat kemampuan manusia. Sehingga hukum itu tidak menjadi
beban. Prinsip ini didasari oleh banyak ayat al-Qur’an, diantaranya dalam surat
al-Baqarah ayat 185:
Artinya: “…
Allah menghendaki kemudahan darimu dan tidak menghendaki kesulitan…”
Contoh
prinsip yang pertama ini antara lain hukum kebolehan berbuka puasa bagi orang
yang sedang dalam perjalanan, dan hukum boleh melaksanakan shalat sesuai
kemampuan.
b. Menyedikitkan beban
Prinsip ini mengandung arti bahwa dalam melakukan perintah Allah swt. itu
harus memperhatikan objek yang diperintahkan dengan tidak melakukan penambahan
dan pengurangan, seperti dalam firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 102:
Artinya: “janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang jika dia
diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.”
Contoh dari prinsip kedua ini adalah kewajiban haji hanya satu kali
seumur hidup bagi yang mampu.
c.
Berangsur-angsur
Salah satu keutamaan hukum Islam adalah cara penetapannya yang tidak
sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dan bertahap, sehingga tidak
memberatkan dan lebih memberikan kelonggaran. Karena al-Qur’an sangat
memperhatikan proses perubahan sosial budaya yang berkembang di masyarakat.
Contohnya dalam tahapan pengharaman khamr[10]
[1]
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. Kamus
Ilmu Ushul Fiqih,.(Jakarta: Amzah, 2009).hlm. 86.
[2]Dr.
marzuki. Hukum Islam,.(Yogyakarta:
Ombak, 2013).hlm. 73.
[3] Ibid,.
hlm. 74.
[4]
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam,.(
Jakarta: Sinar Grafika, 2004),. hlm. 82.
[5]
Dr. Marzuki, Hukum Islam,.(Yogyakarta:
Ombak, 2013).hlm. 73.
[6]
Ibid., hlm. 85.
[7]
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. Kamus
Ilmu Ushul Fiqih,.(Jakarta: Amzah, 2009).hlm. 87.
[8]
Dr. Marzuki,. Op Cit., hlm. 86.
[9] Ibid.,
hlm. 87.
[10] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Predana
Media Group, 2011),. hlm. 49-52
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
www.arenakartu.cc
100% Memuaskan ^-^